Thursday, December 27, 2018

Hukum Puasa Rajab Menurut Islam


Hukum Puasa Rajab Menurut Islam

Hukum Puasa Rajab Menurut Islam, banyak diantara kita yang masih bertanya-tanya tentang hukum hal tersebut dalam pandangan islam,
apakah di syariatkan atau hanya amalan yang hanya di buat-buat semata oleh orang yang berpuasa hanya syarat untuk mendapatkan kesaktian,,?
Lalu bagaimana hukum puasa rajab menurut islam ,,,?

 puasa di bulan haram itu di syariatkan dalam islam  dan puasa di bulan haram ومن الحرم فاصمه  bulan rajab adalah adalah termasuk bulan haram, maka sah-sah saja jika ada orang yang berpuasa penuh di bulan rajab, karena nabi pernah melakukan  puasa rajab, hal itu sesekali tetapi tidak tiap tahun melakukan puasa rajab. Jadi bukan amalan baru dalam islam.
Lalu bulan apa saja yang termasuk bulan haram, rajab,sya’ban,dzulqa’dah,dzulhijjah,muharam.
Sudah selayaknya kita memperbanyak amalan sunnah, tetapi ita juga harus mengetahui dasar hukum islam diperintahkanya.
 Terutama puasa, karena allah akan memberikan pintu khusus untuk masuk ke syurga yang bernama ar-rayan. Apabila kita ihlas melakukan puasa yang dilakukan, termasuk puasa rajab
Lalu masih banyak juga shaum shaum yang lain selain puasa rajab,
seperti shaum senin kamis,shaum nabi daud, maka tidak di perbolehkan puasa yang di khususkan hanya puasa rajab saja, misalkan di niatkan untuk hal yang lain selain ridha allah swt.


Hukum Mengucapkan Selamat Natal


Hukum Mengucapkan Selamat Natal
 Lalu bagaimana sebenarnya Mengucapakan Selamat Natal Kepada orang kristen,
 di bulan bulan november dan desember ini ada dua perayaaan,
 yaitu natal dan tahun baru, lalu bagaimana sikap kita terhadap orang yang mengundang kita ke acara natal atau tahu baru, haruskah kita mengucapkan selamat natal dan tahun baru..?

Sudah jelas bahwa hukum mengucapkan selamat natal tidak di perdebatkan lagi. karena dengan kita menucapkan selamat natal kepada orang kristen maka kita telah mengakui beberapa hal dari peribadatan mereka,
 dengan mengucapkan selamat natal kita, Yang pertama, mengakui Isa sebagai anak tuhan. لقدكفرالذين قالوإن الله ثالث ثلاثة
dengan mengucapkan selamat natal kita, Yang kedua, mengakui isa mati di tiang salib, padahal kenyataanya bahwa nabi Isa tidak dasalib tetapi diangkat oleh Allah kelangit, sedangkan yang mereka salib adalah pengikut nabi isa yang berkhianat yang allah serupakan. وما قتلوه وما صلبوه ولاكن شبها لهم

dengan mengucapkan selamat natal kita, Yang ketiga,
 mengakui bahwa isa lahir pada 25 Desember.
Dibantah dengan ketika maryam memegang isa yang lahir di pinggiran kota dan tidak ada makanan lalu Allah perintahkan maryam untuk menggoncangkan pangkal pohon kurma, lalu gugur buah kurma yang mengkal, padahal kurma mengkal hanya ada pada musim panas, pada bulan Juli-Agustus. Ketia isa lahir musimnya domba sedang digembalakan, sedangakan bulan duabelas rumput tidak tumbuh karena salju turun pada bulan itu.
Maka tidak mungkin menggembalakan kambing pada musim dingin, yang kenyataanya yang mereka rayakan adalah dewa mitra,
 yaitu dewa matahari. Tidak ada salahnya kita harus berbuat baik dan saling menghormati antar umat beragama,
 akan tetapi kita dilarang untuk mencampur adukkan agama kita dengan ikut peribadatan yang mereka lakukan.

Tuesday, October 9, 2018

anak menyewa ibu jadi pelayan


Hukum Anak menyewa jasa ibu sebagai pelayan
 para ulama berbeda pendapat terkait hukum anak menyewa jasa ibu sebagi pelayan . Ada dua pendapat:

1.  Pendapat  yang tidak membolehkan
Menyewa jasa ibu sebagi pelayan hukumnya tidak diperbolehkan. Ini pendapat pendapat mazhab Hanafi.
Landasan dalil:
·        Anak diperintahkan untuk menghormati ibu, dan menjadikan ibu sebagi pembantu tentu akan menghinakan dan merendahkan ibu. Perbuatan ini haram hukumnya, dan ini sama dengan akad sewa untuk suatu kemaksiatan.
·        Diantara bentuk berbakti kepada ibu adalah memberikan pelayanan yang baik untuk sang ibu. Mengingat kedudukan ibu dan dan keutamaan  yang dimiliki oleh seorang ibu, bukan sebaliknya. Menjadikan ibu sebagi pembantu atau pelayan artinya memperlakukan ibu secara semena-mena, dan ini sebagai bentuk penghinaan.
2.  Pendapat yang membolehkan
Menyewa jasa ibu sebagi pelayan hukumnya boleh. Demiian pendapat madzhab Syafi’iyah, adapun madzhab Hambali membolehkan akan tetapi mereka tetap menyatakan hal tersebut hukumnya makruh.
Landasan dalil:
·        Ibu diqiyaskan dengan orang lain yang boleh disewakan jasanya.
Namun, ini ditanggapi oleh madzhab yang tidak membolehkan bahwa qiyas ini tidak tepat , karena anak diperintahkan untuk berbakti dan memuliakan ibu. Menjadikan ibu sebagai pelayan atau pembantu berarti menghinakan atau mengabaikan kemuliaan seorang ibu. Hal ini jelas berbeda dengan orang lain, karena ketika anak menyewa jasa orang lain tidaklah menghinakan orang tersebut. Sebab ia tidak diperintahkan untuk berbakti dan memuliakan orang tersebut.
·        Menyewa jasa ibu sebagi pelayan bagi anak makruh hukumnya, karena perlakuan tersebut menghinakan si ibu, karena ibu terikat sebagi pembantu atau pelayan anaknya.
Tarjih
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa anak menyewa jasa ibu sebagai pelayan hukumnya tidak diperbolehkan.  Pendapat ini juga diperkuat dengan kaidah Sadd Dzarai’ah, karena pendapat yang membolehkan menyewa jasa ibu sebagi pelayan bisa menjurus pada perlakuan merendahkan, semena-mena dan menghinakan. Melihat realita yang ada hari ini, pembantu atau pelayan sering diperlakukan tidak terhormat.

ref:  Wafa' binti Abdul Aziz, Fiqih Ibu

Saturday, March 24, 2018


205. bolehkah istri cerai dari suami yang mafqud (Hanabilah)
Al-Mufashal fi Ahkamil Mar’ah, 8/445-447  8740-8747
madzhab Hanbilah membedakan antara dua keadaan. Keadaan pertama:  hilangnya suami dalam keadaan bahaya (kemungkinan kembalinya sangat kecil). Keadaan kedua:  hilangnya suami,  dalam keadaan selamat (baik-baik saja) kemungkinan kembalinya lebih besar.
a.       keadaan pertama
Hilangnya suami menjadikan sang istri berada dalam bahaya , seperti orang yang hilang dari keluarganya pada malam hari atau siang hari atau keluar kemasjid untuk shalat dan ia tidak kembali atau pergi kesuatu tempat untuk menunaikan kebutuhannya  ia tidak kembali dan tidak ada kabar, atau ia hilang ditempat yang  membahayakna, atau ia hilang diantara dua kelompok dalam peperangan yang berkecamuk didalamnya pembunuhan, dibunuh kaum dari dua arah, maka dalam keadaan ini sang istri menunggu seLma 4 tahun kemudian dilanjutkan dengan iddah karena wafat selama 4 bulan sepuluh hari jika ia merdeka, dan setengah jika ia seorang budak,  hujjah dari perkataan ini adalah bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pernah melakukan hal tersebut.
b.      keadaan kedua
Hilangnya suami dalam keadaan kemungkinan suami selamat, seperti perjalanan berdagang, menuntut ilmu, dan jalan-jalan, maka sang istri menunggu hingga dalam perkiraannya sang suami telah wafat dari  sejak setelah kepergiannya. masa lamanya disempurnakan selama 90  tahun dari hari kelahirannya.
·        Apakah disyaratkan adanya keputusan hakim untuk masa penantian istri hingga terjadinya perceraian.
                        Menurut Hanabilah tidak disyaratkan adanya keputusan hakim.
·        Dimulainya masa penantian
dalam salah satu dari dua riwayat dalam madzhab Hanabilah, dimulainya masa penantian (4 tahun) dari sejak penetapan hakim. karena terdapat perbedaan waktu didalmya, maka perceraianpun harus dengan keputusan hakim. Dalam riwayata kedua, dimulainya masa penantian dari sejak hilangnya kabar suami.
·        Pendapat yang rajih menurut Hanbilah: adalah riwayat pertamadalam madzhab Hanbilah yaitu bahwa dimulainya masa penantian dari sejak penetapan hakim untuk menentukan perkara-perkara dan hukum-hukum.
·        Apakah perceraiannya Faskh atau talak?
Perceraian karena suami hilang menurut Hanbilah adalah perceraian Faskh akad nikah dan bukan perceraian talak. Karena mereka tidak mensyaratkan dalam penetapan perceraiannya adanya keputusan hakim dan wali suami yang hilang tidak mentalaknya setelah masa iddahnya.
·        Nafkah istri dari suami yang hilang
Ia masih mendapatkan nafkah selama ia dalam masa penantian dan masa iddah.karena masa penantian belum dihukumi dengan talak ba’in.

Wednesday, February 21, 2018

istri yang sedang iddah talak raj'i meminta khulu'


147. ISTRI YANG SEDANG IDDAH TALAK RAJ’I MEMINTA KHULU’

            Orang yang sedang dalam masa iddah talak raj’i ia masih dihukumi sebagai istrinya. Sebab talak raj’i tidak dapat kengangkat keadaan dan tidak menghilangkan kepemilikan atas pernikahan tersebut. Oleh sebab itu, sah hukum khulu’nya.
            Pendapat-pendapat para ulama tentang khulu’ orang yang sedang dalam masa iddah talak raj’i.
1    dalam kitab (Al-Mughni) karangan Ibnu Qudamah Al-Hanbali: (ruju’ adalah orang yang tertalak setelah talak raj’i dan ia masih dalam masa iddahnya. maka sang istri bisa memperoleh  talak suaminya lagi, diharnya, dan jika istri meminta khulu’ sah khulu’nya)
2    dalam kitab (AL-Mabsut) karangan Sarkhasi dalam fiqih Hanafiyah: (jika ia mentalak istrinya dengan memberi upah (ganti rugi)  setelah talak raj’i. hukumnya diperbolehkan. Karena hilangnya  kepemilikan bukan karena talak ini, sebab talak raj’i  tidak menghilangkan kepemilikan nikah.
3    dalam kitab (Syarhu shagir) karangan Dardir dalam fiqih Malikiyah: Jika sang istri meminta khulu’ dalam keadaan tertalak oleh talak raj’i tidak menghilangkan iddahnya, maka sah khulu’nya dan talaknya menjadi talak ba’in. sebab istri tersebut  masih dalam masa iddah).
4    dalam kitab (Mughni Muhtaj)  dalam fiqih syafi’iyah: (sah khulu’nya, wanita yang ditalak raj’i). Sebab ia masih dihukumi sebagai istrinya dan masih terkena hukum-hukumnya. dan pendapat kedua: tidak sah khulu’nya. karena  tidak ada kebutuhan  untuk mengikuti istrinya  sehingga mengantarkannya pada talak ba’in.
  dalam kitab (Syarh Al-Azhar) dalam fiqih Zaidiyah: tidak sah khulu’nya walaupun talaknya adalah talak raj’i.
(Al-Mufashal fi ahkamil mar’ah, 8/140-141, 7899-7900)

talak dengan sindiran


114. SYARAT TERJADINYA TALAK DENGAN SINDIRAN (HANAFIYAH)
Menurut Hanafiyah: talak dengan lafadz kinayah tidak terjadi atau tidak jatuh kecuali dengan niat.Oleh karena itu jika ia berniat maka talak tersebut  telah jatuh. kemudian jika ia  mengatakan talak dan ia mengumumkannya, namun kemudian setelah itu ia berkata bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan terjadinya talak dengan perkataan tersebut, maka hal tersebut  menjadi hutang antara ia dan Allah, karena sesungguhnya Allah yang maha mengetahui sesuatu yang tersembunyi.

.    1.   Suami istri dalam keadaan ridha
Jika suami istri dalam keadaan ridha kemudian ia mengucapkan lafadz talak, maka hendaknya ia menanyakan tentang niatnya. Apakah ia menginginkan jatuhnya talak atau tidak. Jika kata-kata tersebut  diiringi dengan sumpah, maka ia  berarti menginginkan jatuhnya talak. namun jika ia tidak disertai dengan sumpah ataupun  ia bersumpah namun  tidak berniat talak, maka qadhi hendaklah menanyakan tentang niatnya.
22.    dalam keadaan marah dan bertengkar
Jika lafadz kinayah tersebut disandarkan dengan kedua keadaan tersebut, dibagi menjadi tiga bagian:
·        bagian pertama dari keadaan kedua:
sempurnanya bagian ini disertai dengan lima lafadz:
1.      perkaramu ada ditanganmu
2.      pilihlah
3.      persiapkanlah
4.      sucikanlah rahimmu
5.      kamu telah sendiri
dengan kata-kata ini talak telah jatuh, sebab lafadz-lafadz ini mengandung talak, walaupun ia dalam keadaan marah dan bertengkar atau mudzakarah At-talak.
·        bagian kedua dari keadaan kedua :
bagian ini terdiri dari lima lafadz  kinayah juga:
1.      wanita yang tidak bersuami dan tidak beranak
2.      wanita yang mensucikan rahimnya
3.       benar-benar menceraikannya
4.      menjatuhkan talak tiga
5.      yang terlarang
·        bagian ketiga dari keadaan kedua:
Lafadz-lafadz ini sah untuk talak dengan kinayah.
1.      tidak ada jalan bagiku atasmu
2.      tidak ada nikah bagiu atasmu
3.      kamu wanita yang telah terbebas
4.      aku tinggalkan
5.      aku keluarkan
6.      aku jauhkan
7.      aku talak
8.      aku pindahkan
9.      aku tutup dll
·        jumlah talak yang jatuh dengan lafaz kinayah
            menurut Hanafiyah, talak yang jatuh adalah talak satu atau talak raj’i, jika ia berkata: “persiapkanlah  atau sucikanlah rahimmu, atau kamu satu”. Maka tidaklah terjadi kecuali talak satu, walaupun ia berniat untuk talak dua atau talak tiga.
            jika selain lafadz ini seperti: “kamu ba’in” atau “haram” dan sebagainya, maka yang terjadi aadalah talak tiga, jika ia berniat talak satu yang jatuh adalah talak satu, jika ia niat talak dua maka jatuhlah satu  lagi, dan jika ia berniat untuk talak tiga maka jtuhlah talak tiga kecuali jika ia mengatakan: “pilihlah” jika ia niat talak tiga hukumnya tidak sah dan talak tiga tidak dapat jatuh dengan perkataan ini.
·        Alasan Hanafiyah
Alasan hanafiyah tentang jatuhnya  jumlah talak sesuai dengan yang diucapkannya sebagai berikut:
1.      “persiapkanlah” dan “sucikanlah rahimmu”  sebagaimana hukum talak dengan lafadz yang sharih, yang jatuh adalah talak satu atau talak raj’i. sebagaimana jika dalam lafadz yang sharih: “ kamu telah tertalak” yang jatuh adalah talak satu raj’i, walaupun ia berniat dalam hatinya untuk talak tiga. Karena ia sebgaimana talak dengan lafadz sharih bukan dengan niatnya.
2.      “kamu satu” jatuh talak satu walaupun ia niat talak tiga. karena perkataan ini tidak mengandung penafsiran talak tiga, sehingga tidak mengandung niat talak tiga.
3.      adapun jatuhnya talak tiga dengan niat  sebagaimana makna yang terkandunga dalam lafadz kinayang yang diucapkannya.
4.      adapun  jatuh talak satu walaupun a berniat untuk talak dua, Disebabkan karena akibat dari talak  dua sama dengan akibat yang dihasilkan dari talak satu.
5.      Adapun talak tidak jath dengan kata: “ pilihlah” karena lafadz ini mengandung makna  bahwa kekuasaan talak diserahkan kepada perempuan. jka ia menghendaki dirinya ditalak maka jathlah talak, jika ia tidak menghendaki maka tidak jatuh.
(AL-Mufashal fi ahkamil mar’ah, jild 7, hal. 455)


ruju' dengan perbuatan


131. RUJU’  DENGAN PERBUATAN
1. Menurut Madzhab Hanafiyah: Boleh ruju’ dengan perbuatan. Adapun perbuatan yang  berarti ruju’, yaitu seperti menggaulinya, menyentuh sesuatu dari anggota badannya dengan syahwat, melihat farjnya dengan syahwat atau sesuatu yang khusus dilakukan bagi orang yang telah menikah.
2. Menurut Madzhab Syafi’i: Tidak ada  ruju’ dengan perbuatan seperti dengan  jima’ dan muqaddimahnya, walaupun   ia berniat untuk ruju’ dengan perbuatan tersebut. Karena  tidak ada suatu perbutan yang menunjukkan ruju’ sebagaimana tidak adanya pernikahan dengan perbuatan tersebut.
3. Menurut Madzhab Hanabilah:  ruju’ hanya dapat terjadi dengan jima’ saja, bukan dengan yang lainnya dari  muqaddimah jima’ seperti mencium dan menyentuhnya walaupun dengan syahwat,  baik dengan niat ataupun tidak. Karena selain dari jima’ tidak menunjukkan pada keinginan untuk meruju’nya.
4. Menurut Madzhab Malikiyah: Ruju’ dapat dilakukan dengan perbuatan  yang menunjukkan ruju’. Akan tetapi harus disertai dengan niat untuk meruju’nya melalui perbuatan tersebut. Namun ada salah satu ulama malikiyah yang berpendapat bahwa  ruju’ itu sah dengan perbuatan jima’ walaupun tanpa niat.
5. Menurut  Madzhab Ja’fariyah: sah ruju’ dengan perbuatan yang menunjukkan pada hal tersebut seperti jima’ atau muqaddimahnya jika ia melakukannya dengan syahwat  seperti mencium dan menyentuhnya.
6. Menurut  Madzhab Dzahiriyah: tidak sah ruju’ dengan perbuatan seperti dengan jima’. karena tidak ada dalil yang menunjukkan sahnya ruju’ dengan perbuatan.
7. Menurut  Pendapat yang rajih: jika  jima’ dengan niat ruju’ maka diakui rujunya karena perbuatan ini menunjukkan pada keinginan untuk ruju’. syaikh ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawanya: sesungguhnya jima’ yang dilakukan oleh suami dengan niat ruju’ diakui ruju’nya dan ini riwayat dari Ahmad. ini dalah pendapat yang paling adil dan paling mendekati kebenaran.
Pendapat yang paling rajih:  muqaddimah–muqaddimah jima’  seperti mencium dan menyentuhnya dengan syahwat diakui ruju’nya jika perbuatan-perbuatan ini berasal dari suaminya dengan niat untuk meruju’nya atau berasal dari istrinya  tetapi dengan ridha suaminya.
فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوْفٍ
“tahanlah ia dengan cara yang baik.”
-Referensi: (Al-Mufashal fi ahkamil mar’ah, jilid. 8)