Wednesday, February 21, 2018

istri yang sedang iddah talak raj'i meminta khulu'


147. ISTRI YANG SEDANG IDDAH TALAK RAJ’I MEMINTA KHULU’

            Orang yang sedang dalam masa iddah talak raj’i ia masih dihukumi sebagai istrinya. Sebab talak raj’i tidak dapat kengangkat keadaan dan tidak menghilangkan kepemilikan atas pernikahan tersebut. Oleh sebab itu, sah hukum khulu’nya.
            Pendapat-pendapat para ulama tentang khulu’ orang yang sedang dalam masa iddah talak raj’i.
1    dalam kitab (Al-Mughni) karangan Ibnu Qudamah Al-Hanbali: (ruju’ adalah orang yang tertalak setelah talak raj’i dan ia masih dalam masa iddahnya. maka sang istri bisa memperoleh  talak suaminya lagi, diharnya, dan jika istri meminta khulu’ sah khulu’nya)
2    dalam kitab (AL-Mabsut) karangan Sarkhasi dalam fiqih Hanafiyah: (jika ia mentalak istrinya dengan memberi upah (ganti rugi)  setelah talak raj’i. hukumnya diperbolehkan. Karena hilangnya  kepemilikan bukan karena talak ini, sebab talak raj’i  tidak menghilangkan kepemilikan nikah.
3    dalam kitab (Syarhu shagir) karangan Dardir dalam fiqih Malikiyah: Jika sang istri meminta khulu’ dalam keadaan tertalak oleh talak raj’i tidak menghilangkan iddahnya, maka sah khulu’nya dan talaknya menjadi talak ba’in. sebab istri tersebut  masih dalam masa iddah).
4    dalam kitab (Mughni Muhtaj)  dalam fiqih syafi’iyah: (sah khulu’nya, wanita yang ditalak raj’i). Sebab ia masih dihukumi sebagai istrinya dan masih terkena hukum-hukumnya. dan pendapat kedua: tidak sah khulu’nya. karena  tidak ada kebutuhan  untuk mengikuti istrinya  sehingga mengantarkannya pada talak ba’in.
  dalam kitab (Syarh Al-Azhar) dalam fiqih Zaidiyah: tidak sah khulu’nya walaupun talaknya adalah talak raj’i.
(Al-Mufashal fi ahkamil mar’ah, 8/140-141, 7899-7900)

talak dengan sindiran


114. SYARAT TERJADINYA TALAK DENGAN SINDIRAN (HANAFIYAH)
Menurut Hanafiyah: talak dengan lafadz kinayah tidak terjadi atau tidak jatuh kecuali dengan niat.Oleh karena itu jika ia berniat maka talak tersebut  telah jatuh. kemudian jika ia  mengatakan talak dan ia mengumumkannya, namun kemudian setelah itu ia berkata bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan terjadinya talak dengan perkataan tersebut, maka hal tersebut  menjadi hutang antara ia dan Allah, karena sesungguhnya Allah yang maha mengetahui sesuatu yang tersembunyi.

.    1.   Suami istri dalam keadaan ridha
Jika suami istri dalam keadaan ridha kemudian ia mengucapkan lafadz talak, maka hendaknya ia menanyakan tentang niatnya. Apakah ia menginginkan jatuhnya talak atau tidak. Jika kata-kata tersebut  diiringi dengan sumpah, maka ia  berarti menginginkan jatuhnya talak. namun jika ia tidak disertai dengan sumpah ataupun  ia bersumpah namun  tidak berniat talak, maka qadhi hendaklah menanyakan tentang niatnya.
22.    dalam keadaan marah dan bertengkar
Jika lafadz kinayah tersebut disandarkan dengan kedua keadaan tersebut, dibagi menjadi tiga bagian:
·        bagian pertama dari keadaan kedua:
sempurnanya bagian ini disertai dengan lima lafadz:
1.      perkaramu ada ditanganmu
2.      pilihlah
3.      persiapkanlah
4.      sucikanlah rahimmu
5.      kamu telah sendiri
dengan kata-kata ini talak telah jatuh, sebab lafadz-lafadz ini mengandung talak, walaupun ia dalam keadaan marah dan bertengkar atau mudzakarah At-talak.
·        bagian kedua dari keadaan kedua :
bagian ini terdiri dari lima lafadz  kinayah juga:
1.      wanita yang tidak bersuami dan tidak beranak
2.      wanita yang mensucikan rahimnya
3.       benar-benar menceraikannya
4.      menjatuhkan talak tiga
5.      yang terlarang
·        bagian ketiga dari keadaan kedua:
Lafadz-lafadz ini sah untuk talak dengan kinayah.
1.      tidak ada jalan bagiku atasmu
2.      tidak ada nikah bagiu atasmu
3.      kamu wanita yang telah terbebas
4.      aku tinggalkan
5.      aku keluarkan
6.      aku jauhkan
7.      aku talak
8.      aku pindahkan
9.      aku tutup dll
·        jumlah talak yang jatuh dengan lafaz kinayah
            menurut Hanafiyah, talak yang jatuh adalah talak satu atau talak raj’i, jika ia berkata: “persiapkanlah  atau sucikanlah rahimmu, atau kamu satu”. Maka tidaklah terjadi kecuali talak satu, walaupun ia berniat untuk talak dua atau talak tiga.
            jika selain lafadz ini seperti: “kamu ba’in” atau “haram” dan sebagainya, maka yang terjadi aadalah talak tiga, jika ia berniat talak satu yang jatuh adalah talak satu, jika ia niat talak dua maka jatuhlah satu  lagi, dan jika ia berniat untuk talak tiga maka jtuhlah talak tiga kecuali jika ia mengatakan: “pilihlah” jika ia niat talak tiga hukumnya tidak sah dan talak tiga tidak dapat jatuh dengan perkataan ini.
·        Alasan Hanafiyah
Alasan hanafiyah tentang jatuhnya  jumlah talak sesuai dengan yang diucapkannya sebagai berikut:
1.      “persiapkanlah” dan “sucikanlah rahimmu”  sebagaimana hukum talak dengan lafadz yang sharih, yang jatuh adalah talak satu atau talak raj’i. sebagaimana jika dalam lafadz yang sharih: “ kamu telah tertalak” yang jatuh adalah talak satu raj’i, walaupun ia berniat dalam hatinya untuk talak tiga. Karena ia sebgaimana talak dengan lafadz sharih bukan dengan niatnya.
2.      “kamu satu” jatuh talak satu walaupun ia niat talak tiga. karena perkataan ini tidak mengandung penafsiran talak tiga, sehingga tidak mengandung niat talak tiga.
3.      adapun jatuhnya talak tiga dengan niat  sebagaimana makna yang terkandunga dalam lafadz kinayang yang diucapkannya.
4.      adapun  jatuh talak satu walaupun a berniat untuk talak dua, Disebabkan karena akibat dari talak  dua sama dengan akibat yang dihasilkan dari talak satu.
5.      Adapun talak tidak jath dengan kata: “ pilihlah” karena lafadz ini mengandung makna  bahwa kekuasaan talak diserahkan kepada perempuan. jka ia menghendaki dirinya ditalak maka jathlah talak, jika ia tidak menghendaki maka tidak jatuh.
(AL-Mufashal fi ahkamil mar’ah, jild 7, hal. 455)


ruju' dengan perbuatan


131. RUJU’  DENGAN PERBUATAN
1. Menurut Madzhab Hanafiyah: Boleh ruju’ dengan perbuatan. Adapun perbuatan yang  berarti ruju’, yaitu seperti menggaulinya, menyentuh sesuatu dari anggota badannya dengan syahwat, melihat farjnya dengan syahwat atau sesuatu yang khusus dilakukan bagi orang yang telah menikah.
2. Menurut Madzhab Syafi’i: Tidak ada  ruju’ dengan perbuatan seperti dengan  jima’ dan muqaddimahnya, walaupun   ia berniat untuk ruju’ dengan perbuatan tersebut. Karena  tidak ada suatu perbutan yang menunjukkan ruju’ sebagaimana tidak adanya pernikahan dengan perbuatan tersebut.
3. Menurut Madzhab Hanabilah:  ruju’ hanya dapat terjadi dengan jima’ saja, bukan dengan yang lainnya dari  muqaddimah jima’ seperti mencium dan menyentuhnya walaupun dengan syahwat,  baik dengan niat ataupun tidak. Karena selain dari jima’ tidak menunjukkan pada keinginan untuk meruju’nya.
4. Menurut Madzhab Malikiyah: Ruju’ dapat dilakukan dengan perbuatan  yang menunjukkan ruju’. Akan tetapi harus disertai dengan niat untuk meruju’nya melalui perbuatan tersebut. Namun ada salah satu ulama malikiyah yang berpendapat bahwa  ruju’ itu sah dengan perbuatan jima’ walaupun tanpa niat.
5. Menurut  Madzhab Ja’fariyah: sah ruju’ dengan perbuatan yang menunjukkan pada hal tersebut seperti jima’ atau muqaddimahnya jika ia melakukannya dengan syahwat  seperti mencium dan menyentuhnya.
6. Menurut  Madzhab Dzahiriyah: tidak sah ruju’ dengan perbuatan seperti dengan jima’. karena tidak ada dalil yang menunjukkan sahnya ruju’ dengan perbuatan.
7. Menurut  Pendapat yang rajih: jika  jima’ dengan niat ruju’ maka diakui rujunya karena perbuatan ini menunjukkan pada keinginan untuk ruju’. syaikh ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawanya: sesungguhnya jima’ yang dilakukan oleh suami dengan niat ruju’ diakui ruju’nya dan ini riwayat dari Ahmad. ini dalah pendapat yang paling adil dan paling mendekati kebenaran.
Pendapat yang paling rajih:  muqaddimah–muqaddimah jima’  seperti mencium dan menyentuhnya dengan syahwat diakui ruju’nya jika perbuatan-perbuatan ini berasal dari suaminya dengan niat untuk meruju’nya atau berasal dari istrinya  tetapi dengan ridha suaminya.
فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوْفٍ
“tahanlah ia dengan cara yang baik.”
-Referensi: (Al-Mufashal fi ahkamil mar’ah, jilid. 8)


Wednesday, February 14, 2018

talaknya seorang yg dipaksa


TALAKNYA SEORANG YANG DIPAKSA
a. Menurut jumhur (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, Dzahiriyah, Zaidiyah dan Ja’fariyah) : Tidak jatuh talaknya orang yang dipaksa.
Dalil:
 Hadits Ibnu Majah
إن الله وضع عن أمتي الخطأ و النسيان وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah memaafkan kesalahan-kesalahan umatKu yang tidak disengaja,, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya.”
Hadits Abi Daud                                                                                                                      
عن عائشة قالت: سمعت رسول الله  صلى الله عليه وسلم يقول: لا طلاق ولا عتاق في إغلاق أو في غلاق ) قال أبو داود : الغلاق أظنه الغضب
Dari Aisyah ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “tidak ada talak, dan pembebasan budak dalam keadaan marah”.
Hadits Bukhari
عن ابن عباس قوله:طلاق السكران و المستكره  غيرجائز
Dari Ibnu Abbas : “Talak orang yang mabuk dan orang yang dipaksa tidak diperbolehkan”.  

b. Menurut Hanafiyah, Abu Qalabah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Az-Zuhri dan  Ats-Tsauri: Jatuh talaknya orang yang dipaksa
c. Pendapat yang  rajih: tidak jatuh talaknya orang yang dipaksa, yaitu menurut pendapat jumhur, sebagaimana dalil yang telah disebutkan sebelumnya, melihat dari dalil tersebut menyatakan bahwa talak  yang dipaksa adalah talak yang tidak disyari’atkan. talak yang dipaksa berarti sang suami tidak bermaksud atau tidak berniat untuk menceraikan istrinya secara mutlak.