HUKUM NAFKAH BAGI WANITA YANG SEDANG DALAM MASA IDDAH
Oleh: Hilfa Miftahul Fariha
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Agama islam adalah agama yang sempurna dan rahmatan lil’alamin. Semua
yang kita alami sudah Allah swt atur dalam agama islam, dari hal terbesar
sampai hal terkecil sekalipun. Begitu juga dengan masalah nafkah, ketika
ijab dan Qabul telah sah maka sejak saat itu juga seorang suami harus siap
memberikan nafkah kepada istrinya.
Namun diera globalisasi ini banyak permasalahan yang timbul, umumnya dalam
masalah pernikahan yang sangat beragam bentuknya. Diantara permasalahan
tersebut adalah ketika seorang wanita ditalaq dan ia berada dalam masa iddah,
bagaimana hukum nafkah atas wanita tersebut. hal tersebut terkadang diabaikan atau
bahkan cenderung disepelakan oleh masyarakat pada umumnya, sehingga banyak
orang yang tidak mengerti permasalahan ini.
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat penting dan harus
difahami oleh kedua belah pihak, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami.
Karena hal ini masyarakat tidak terlalu mengerti atau bahkan menyepelekan hal
ini, maka banyak diantara kita yang menemukan kebingungan dalam permasalah
nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah. Oleh sebab itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin membahas mengenai hal ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa hukum nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
2.
apa syarat-syarat nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
3.
apa sebab-sebab nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
C. Tujuan
1.
untuk mengetahui hukum nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah
2.
untuk mengetahui syarat-syarat
nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah
3.
Untuk mengetahui sebab-sebab nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa
iddah
D.
Manfaat
Sebagai sumbangan pemikiran bagi ma’had Aly Hidayaturrahman dan sebagai
tambahan wawasan bagi penulis khususnya serta bagi pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
1.
Definisi nafkah
Nafkah merupakan bahasa serapan dari bahasa arab nafaqah. Nafkah
sacara bahasa berasal dari kata نفقُ – نفاقاَ yang artinya habis, dan أنفق yang artinya
membelanjakan.[1]
Nafkah juga diartikan sebagai sesuatu yang diwajibkan bagi istri atas suaminya
berupa harta, baik makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.[2]
Secara istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dikeluarkan dan hanya
dipakai dalam sebuah kebaikan.[3]
Dalam pengertian bahasa indonesia nafkah adalah belanja untuk hidup, (uang)
pendapatan suami yang wajib diberikan kepada istrinya, atau bekal hidup
sehari-hari berupa rezeki.[4]
Adapun menurut istilah fiqih, fuqaha memberikan definisi nafkah
sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang
berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan
papan termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabotan rumah tangga.[5]
Nafkah juga diartikan sebagai “belanja”. Belanja disini maksudnya adalah
memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga,pengobatan
istri, jika ia seorang yang kaya. [6]
Maka dari beberapa pengertian diatas
mengenai nafkah, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah kewajiban seseorang atas
orang yang ditanggungnya yang berupa kebutuhan baik berupa makanan, pakaian dan
yang lainnya. Adapun nafkah dalam pernikahan adalah kewajiban suami atas
istrinya yang berupa kebutuhan, disebabkan karena adanya ikatan tali
pernikahan. Baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebaginya.
2.
Definisi Iddah
Secara
etimologi iddah adalah jama’ dari
(عدّ-يعدّ-عدّة) dan jamaknya adalah (عدد) yang artinya
menghitung atau hitungan.[7]
Iddah juga diartikan sebagai batasan syar’i bagi seorang wanita yang
telah ditalaq oleh suaminya atau karena suaminya meninggal.[8]
Secara terminologi iddah adalah
nama dari suatu masa, ketika seorang perempuan dalam masa itu menunggu dan
menahan dari melangsungkan pernikahan, baik setelah suaminya wafat atau karena dicerai
oleh suaminya.[9] Menurut
ulama Hanafiyah, iddah adalah
masa menunggu bagi seorang wanita yang harus dilaksanakan setelah putusnya
pernikahan, baik pernikahan secara sah ataupun secara syubhat, baik ia
yakin telah terjadi dukhul atau belum, atau juga disebabkan karena
kematian suami. Sedangkan menurut madzhab Maliki, iddah adalah masa
dilarangannya untuk menikah dengan sebab talaq. Menurut madzhab Syafi’i, iddah
adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui kosongnya rahim, dan
menurut madzhab Hanabilah, Iddah adalah masa penantian, yang tidak dihalalkan
menikah dengan sebab talaq atau sebab suaminya meningga luntuk mengetahui
kosongnya rahim.[10]
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa iddah menurut
syari’at islam adalah masa menunggu dan menahan seorang wanita dari menikah
lagi setelah putusnya tali pernikahan, disebabkan karena ia ditalak oleh
suaminya dan ia telah melakukan dukhul, atau karena suami meninggal.
Melihat dari definisi nafkah dan iddah
diatas dapat kita simpulkam bahwa nafkah iddah adalah segala sesuatu yang dibelikan oleh
seorang suami kepada istrinya yang telah diceraikan untuk memenuhi
kebutuhannya, baik berupa pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.
B.
Dasar Hukum
Didalam
Al-Qur’an Allah swt telah menjelaskan ketentuan mengenai nafkah dan Iddah, yaitu
dalam surat At-Talaq ayat 6 dan 7:
أَسْكِنُ هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئَاتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ وَأْتَمِرُوْابَيْنَكُمْ
بِمَعْرُوْفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُوْ لَهُ أُخْرَى (6) ليُنفِقْ ذُو سَعَةٍ
مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُس
”Tempatkanlah
mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu
menemukan kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya
(6) Hendaklah orang-orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah swt kepadanya. Allah swt tidak memikulkan beban kepada seorangpun
melainkan sekedar apa yang Allah swt berikan kepadanya. Allah swt kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”[11]
Agama
menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan istrinya, karena
itu suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya, sebagaimana
firman Allah Swt, surat Al-Baqarah: 228:
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْء وَلَا يَحِلُّ
لَهُنَّ أَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَبُعُوْلَتُهُنَّ أَحَقَّ بِرَدِّ هِنَّ فِي ذَلِكَ
إِنْ أَرَادُوْا إِصْلَحَا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَة وَالله عَزِيْزٌ حَكِي
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah swt dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah swt dan hari akhirat. Suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah, dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada
istrinya, dan Allah swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."[12]
Adapun menurut hadits Rasulullah saw yang beliau sampaikan ketika haji wada yaitu:
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah swt pada
(penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil
mereka dengan amanah Allah swt dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah swt. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai.
Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menyakiti. Kewajiban kalian bagi suami adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf.”[13]
C. Hukum
Nafkah Iddah
Para ulama bersepakat
bahwa istri yang ditalaq raj’i baik sedang
hamil atau tidak, maka wanita tersebut wajib diberi nafkah oleh suaminya karena
masih terhitung sebagai istri,[14]
sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Dan jika mereka
(istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka melahirkan." [15]
Para wanita yang sedang
dalam masa iddah raj’i baik hamil ataupun tidak mereka berhak
mendapatkan nafkah berupa 3 jenis, yaitu nafkah berupa makanan, pakaian dan
tempat tinggal.[16]
Sedangkan jika ia berada
dalam masa iddah talaq ba’in, para ulama berbeda pendapat.
Madzhab Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang wanita yang sedang dalam masa iddah
karena talaq ba’in maka ia tetap mendapatkan nafkah dan tetap
mendapatkan tempat tinggal selama ia tidak keluar dari rumah yang ditempatinya.[17] Adapun
wanita yang sedang dalam masa iddah wafat maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah karena
wanita yang sedang dalam masa iddah wafat, sudah tidak ada lagi yang
menanggung nafkahnya, sebab yang mempunyai kewajiban untuk menanggung nafkahnya
adalah suaminya, akan tetapi ia tetap berhak mendapatkan tempat tinggal dengan
syarat ia tidak keluar dari tempat tinggal tersebut kecuali karena udzur
syar’i.[18]
Sedangkan menurut
madzhab Syafi’iyah menyebutkan bahwa wanita yang berada dalam masa iddah
talaq ba’in, baik talaq ba’in dengan khulu’ atau mengambil
talak tiga secukupnya, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal baik dalam
keadaan hamil ataupun tidak. Sesuai dengan firman Allah ta’ala.
أَسْكِنُ هُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ
“ Tempatkanlah mereka (para
istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”[19]
Adapun jika wanita itu berada dalam masa iddah
karena ditinggal mati suami, maka dalam hal memperoleh hak tempat tinggal, ada dua
pendapat:
1. Tidak
wajib, sama seperti juga tidak wajib
mendapatkan belanja.
2. Wajib
mendapatkan tempat tinggal, ini adalah pendapat yang benar.
Sedangkan wanita yang iddah karena pembatalan
nikah atau faskh, baik karena sebab riddah,atau masuk islam atas
orang kafir, atau sebab persusuan atau sebab cacat dan sebagainya, maka ia
wajib mendapatkan tempat tinggal.[20]
Adapun
menurut Madzhab Maliki seorang wanita yang ditalaq ba’in maka ia tidak
berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya kecuali ia dalam keadaan hamil
dan nafkah tersebut ditujukan untuk anak yang dikandung oleh wanita tersebut,
hanya saja ia tetap mendapatkan hak tempat tinggal dari mantan suaminya. Sebab
nafkah hanya terjadi pada para wanita yang ditalaq raj’i baik ia dalam
keadaan hamil ataupun tidak.[21]
jika seorang wanita yang sedang dalam masa iddah
wafat, maka ia wajib mendapatkan tempat tinggal jika ia telah jima’ dan
memiliki anak kecil. Namun, jika ia belum jima’ dan ia berada dirumah
keluarganya, maka ia tidak wajib mendapatkan tempat tinggal.[22]
Madzhab Hambali berpendapat, bahwa wanita yang
ditalaq ba’in tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Alasannya
ialah hadits fathimah binti Qais. Bahwa fathimah binti Qais datang bersama
saudara suaminya kepada Rasulullah saw, Fathimah melaporkan katanya: “suamiku
telah menjatuhkan talaq kepadaku, saudaranya yang datang bersamaku ini
menyatakan bahwa aku tidak mendapatkan jaminan nafkah dan tempat tinggal.”
Rasulullah saw berkata: “Bahwa engkau mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.”
Saudara suaminya berkata: “ ia telah ditalaq tiga oleh suaminya,” Rasulullah
saw menegaskan: “bahwa jaminan tempat
tinggal dan nafkah ialah bagi perempuan yang suaminya berhak kembali
kepadanya.”[23] Sedangkan
wanita yang sedang dalam masa iddah baik ia dalam keadaan hamil ataupun
tidak, maka ia tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal.[24]
D. Sebab-Sebab
Nafkah Iddah
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah masih terhitung
mendapatkan hak-haknya dari suaminya. Wanita tersebut tidak boleh menikah lagi
dengan laki-laki lain sampai ia selesai masa iddahnya. Oleh karena ini,
maka sang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang sedang dalam masa iddah
dalam bentuk makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan hal tersebut wajib
ditunaikan sebagaimana suami memberikan nafkah kepada istrinya yang sah dan
ukurannya nafkahnya disesuaikan dengan keadaan suaminya, apakah dia dalam
keadaan lapang atau sempit.[25]
E.
Syarat-Syarat Nafkah Iddah
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah akan mendapatkan
nafkah jika ia tidak menikah lagi dengan laki-laki lain selama dalam masa iddahnya
dan melakukan hal-hal yang mengantarkan pada hal tersebut. Seperti keluar
rumah tanpa udzur, maka sang
suami boleh tidak memberikan nafkah kepada istri yang sedang dalam masa iddah
dan dan ia keluar dari tempat tinggalnya tanpa udzur syar’i.[26]
F.
Kesimpulan
Para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah
talaq raj’i baik dalam keadaan hamil atau tidak, maka tetap wajib
mendapatkan nafkah mereka berhak mendapatkan nafkah berupa 3 jenis, yaitu nafkah berupa
makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Sebab seorang wanita yang sedang dalam masa iddah masih terhalangi
untuk menunaikan hak-hak suaminya. Wanita tersebut tidak boleh menikah lagi
dengan laki-laki lain sampai ia selesai masa iddahnya dan ia tetap harus
menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Oleh karena ini, maka sang suami
wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang sedang dalam masa iddah
dalam bentuk makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan hal tersebut wajib dijaga
sebagimana suami memberikan nafkah kepada istrinya yang sah dan ukurannya
nafkahnya disesuaikan dengan keadaan suaminya, apakah dia dalam keadaan lapang
atau sempit.
Namun, haknya akan hilang ketika ia menikah lagi dengan laki-laki lain
selama dalam masa iddahnya dan melakukan hal-hal yang mengantarkannya
pada hal tersebut, seperti keluar rumah
tanpa udzur, maka sang suami boleh tidak memberikan nafkah kepada istri
yang sedang dalam masa iddah dan dan ia keluar dari tempat tinggalnya
tanpa udzur syar’i
Sedangkan jika ia berada dalam masa iddah
talaq ba’in, para ulama berbeda pendapat. Namun, pendapat yang paling
kuat menurut penulis adalah wanita yang ditalaq ba’in tidak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal. Kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka ia berhak
mendapatkan nafkah yang ditujukan untuk anak tersebut.
Sedangkan jika seorang wanita yang sedang dalam
masa iddah wafat, para ulama sepakat bahwa mereka tidak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal jika ia belum jima’.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005
Ahmad , Imam Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, jild. 6, Beirut Libanon:
Daar Al-Kutub Al- Ilmiah
Al-jazary , Abdurrahman, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah, cet 4, jild. 4, Lebanon: Al- Kotob Al-‘Ilmiyah, 2011 M
Al-Kasani ,Ibnu Mas’ud , Badai’ Ash-Shanai’, jild. 5, Beirut: Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah
Al-Qurtubi , Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an,
jild. 9, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993 M
Az-Zuhaili ,Dr, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul
Hayyie Al-Kattani dkk, jild. 10,
Jakarta: Gema Insani Dar Al-Fikr, 2011 M
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 3, Jakarta: Balai
Pustaka, 1991 M
Ibrahim, Dr, Madkur, Al-Mu’jam
Al-Wasith, ttp.: t.p.,t.t.
Khalaf , Abdul Wahab, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah Fii Asy-Syar’i
Al-Islamiyah Alaa Waqfi Madzhab
Abi Hanifah, Kuwait: Daar
Al-Qalam Linnasyri wat-Tauzii’, 1410 H- 1990
M
Khilafun , Abdul Wahhab , Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, cet. 2,
Kuwait: Dar-Al-Qalam Lin- Nasyri Wa
At-Tauzi’, 1990 M-1410 H
Malik , Imam bin Anas Al-Ashbahi, Al-Mudawwanah Al-Kubra, jild. 3, Qahirah:
Daar Al- Hadits, 1426 H- 2005 M
Muhmmad ,
Syamsuddin bin Al-Khatib As-Syarbini, MughniAl-Muhtaj ‘ilaa Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al-Minhaj, juz 3, cet
1, Beirut: Daarul Ma’rifah, 1997 M
Munawwir, AW, Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1984 M
Muslim, Shahih Muslim, cet.
7, Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M/ 1436 H
Sabiq, Sayyid,
Fiqhu As-Sunnah, jild. 2,
Qahirah: Daar Al-Falah
Syafi’i , Imam, Kifayatul Akhyar, jild. 2
Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012 M/1433 H
[1] AW Munawwir, Al Munawwir Kamus
Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm. 1449
[2] Dr. Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam Al-Wasith, (ttp.: t.p.,t.t.) hlm. 982
[3]
Syamsuddin Muhmmad bin Al-Khatib As-Syarbini, MughniAl-Muhtaj ‘ilaa
Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al-Minhaj, juz 3, cet 1, (Beirut: Daarul Ma’rifah,
1997 M), hlm. 558
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991 M), hlm. 770
[5]
Abdurrahman Al-jazary, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah, cet 4,(
Lebanon: Al-Kotob Al-‘Ilmiyah, 2011 M), jild. 4, hlm. 485
[6] Sayyid Sabiq, FiqhuAs-Sunnah, jild. 2,
(Qahirah: Daar Al-Falah), hlm. 109
[7]
AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984 M), hlm.
[8]
Dr. Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam Al-Wasith, (ttp.: t.p., t.t.), hlm. 616
[9]
Sayyid Sabiq, FiqhuAs-Sunnah, jild. 2 . . . . . hlm. 209
[10]
Abdurrahman Al-jazary, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah. . . . . . hlm: 451-455
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahan, ( Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005) hlm. 559
[12]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan . . . . . . . hlm. 36
[13]
Muslim, Shahih Muslim, cet. 7, (Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015
M/ 1436 H), Bab. Haji/1218, hlm. 456
[14] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta:
Gema Insani Dar Al-Fikr, 2011 M), jild. 10, hlm. 132
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahan . . . .hlm. 559
[16] Abdul Wahhab Khilafun, Ahkam
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, cet. 2, (Kuwait: Dar-Al-Qalam Lin-Nasyri Wa
At-Tauzi’, 1990 M-1410 H), hlm. 173
[19]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan . . . . hlm. 559
[20]
Imam Syafi’i, Kifayatul Akhyar, jild. 2 (Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2012 M/1433 H) hlm. 565-566
[23] Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an, (Beirut Libanon: Daar Al-Kutub
Al-Ilmiah, 1993 M) Jild. 9, hlm. 110
Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad
Imam Ahmad, (Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiah), Jild. 6, hlm. 443
No comments:
Post a Comment