Monday, September 12, 2016

HADITS DO'IF

 HADITS DO'IF

   A.      Macam-Macam Tingkatan Dhoif
Setelah kita mengetahui hadits-hadits dhoif, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkatan  hadits yang paling dhoif adalah hadits matruk dan mathruh. Tingkatan kedhoifan hadits ditentukan dengan status kedoifan perawi tersebut.
Sebagaimana dalam hadits shahih terdapat istilah ash-shahul asanid,begitu pula dalam hadits dhaif, juga terdapat istilah auhal asanid. Auhal asanid ini adalah lawan kata dari ash-shahul asanid. Dalam hadits shahih juga terdapat istilah salsilah adz-dzahab,oleh karena itu  dalam hadits dhaif juga terdapat istilah silsilah al-kadzab.
·         Auhal asanid >< ash-shahul asanid
·         Silsilah al-kadzab>< silsilah adz-dzahab
Adapunyang termasuk auhal asanid adalah:
1)      Shadaqoh bin Musa dari Farqod As-Subhi dari Marrah Ath-Thayyib dari Abi Bakar.
2)      Muhammad bin Fais Al-Mashlub dari Ubaidillah bin Zahra bin Ali dari Al-Qasim dari Abi Umamah
3)      Muhammad bin Marwan dari Al-Kalbi dari Abi Shalih dari Abi Abbas. Mereka termasuk dalam silsilah Al-Kadzab atau perawi-perawi yang paling tinggi tingkat kedhaifannya.
   B.      Kapan Hadits Dhaif Bisa Kuatkan Dengan Cara-Cara Tertentu
Sebab-sebab yang menjadikan sebuah hadits menjadi dhaif terbagi menjadi dua sebab yaitu:
a)      Disebabkan karena masalah keadilan perawinya.
Jika yang bermasalah adalah keadilan perawinya, seperti fasik, dusta, jahil perawinya ataupun ia adalah pelaku bid’ah yang menuju pada kekafiran. Maka hadits tersebut tidak bisa diangkat menjadi hadits yang ;ebih tinggi lagi dan tidak  bisa dijadikan sebagai hujjah.
b)      Disebabkan karena masalah hafalan dan kedhabitan perawinya.
Jika yang bermasalah adalah hafalan dan kedhabitan perawinya, maka derajatnya bisa diangkat menjadi hadits hasan dan bisa dijadikan hujjah dengan cara yang telah ditetapkan
Oleh karena itu, kapan hadits dhaif daPat dikuatkan dengan cara-cara yang telah ditentukan? Maka jawabannya adalah ketika yang bermasalah adalah hafalan dan kedhabitan perawinya.
   C.      Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengamalkan hadits dhaif. Perbedaan pendapat dalam mengamalkan hadits dhaif ini terbagi menjadi tiga madzhab.
a.       Madzhab petama
Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlaq. Baik dalam masalah keutamaannya ataupun dalam masalah hukum. Madzhab ini adalah madzhab Ibn Hazm.
b.      Madzhab kedua
Boleh mengamalkannya secara mutlaq jika tidak ditemukan hadits yang shahih atau hasan. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Ahmad dan murid beliau Abu Dawud.[1]
c.       Madzhab ketiga
Boleh mengamalkan hanya dalam masalah keutamaan dan pelajaran yang terkandung didalam hadits tersebut, namun dengan beberapa syarat.Adapun syarat-syaratnya adalah:
1.       Kedhaifannya tidak mencapai syadid
2.       Hadits tersebut pada asalnya boleh diamalkan.bukan syariat yang mengacu pada hadits, namun hadits yang mengacu pada syariat.
3.       Ketika mengamalkannya, ia tidak meyakini hal tersebut sebagai sebuah ketetapan. Namun hanya sebagai bentuk kehatihatian.
Dalam masalah ini penulis berpendapat bahwa madzhab yang pertama adalah madzhab yang paling aman dibandingkan dengan yang lain.
   D.      Bagaiman Cara Meriwayatkan Hadits Dhaif
Hadits dhaif terbagi menjadi dua yaitu hadits dhaif tanpa sanad dan hadits dhaif dengan sanad.
1.       Hadits dhaif tanpa sanad
Hadits dhaif tanpa sanad ini hendaknya tidak menggunakan shigoh yang jazm, seperti
قل رسول الله tetapi hendaklah menggunakan shigoh yang syak seperti فما يروي أو نقل أو روي
2.       Hadits dhaif dengan sanad
Hadits dhaif dengan sanad terbagi menjadi dua yaitu:
·         Jika membacakannya didepan ulama, maka tidak dimakruhkan membacanya dengan menggunakan shigah yang jazm
·         Jika membacakannya didepan umum, maka makruh membacanya dengan menggunakan shigoh jazm dan hendaklah menggunakan shigoh tamrid.



[1] http://wahdah.or.id/hukum-beramal-dengan-hadits-dhaif/

Saturday, September 10, 2016

HUKUM WARIS ORANG YANG MENINGGAL BERSAMAAN

HUKUM WARIS ORANG YANG MENINGGAL BERSAMAAN

Oleh: Hilfa Miftahul fariha

    Terkadang kita bingung bagaimana cara pembagian warisan bagi orang yang meninggal
bersamaan. dan akan muncul dalam benak kita sebuah pertanyaan, "apakah mereka saling mewarisi atau tidak?" dalam permasalahan seperti ini para ulama membagi menjadi beberapa keadaan:
1. Sangat yakin bahwa mereka meninggal dalam keadaan yang sama. seperti mereka menjadi korban bom dan mereka dalam ruang dan keadaan yang sama.
2. Diketahui dengan yakin, siapa yang meninggal terlebih dahulu diantara keduanya. seperti hanyut di sungai dan diketahui yang meninggal terlebih dahulu.
3. Tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, seperti musibah kebakaran dan tidak tahu siapa yang meninggal terlebih dahulu.
4. Tidak diketahui apakah mereka meninggal dalam keadaan yang sama, seperti musibah 2 tabrakan beruntun dan tidakdiketahui yakin apakah mereka meninggal dalam kecelakaan pertama bersamaan atau tidak.
- Nah, adapun dalam kondisi yang pertama:
 para ulama telah berijma, bahwa meraka tidak saling mewarisi satu sama lainnya.
- Kondisi kedua:
para ulama juga telah sepakat bahwa orang yang meninggal pertama, mewarisi orang yang meninggal kedua.
- Kondisi ke 3 dan ke 4:
Para ulama berbeda pendapat:
Pendapat pertama
     Imam ahmad bin hambal berpendapat bahwa mereka yang meninggal bersamaan seperti kecelakaan dan tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulun, mereka saling mewarisi satu sama lain.
dengan cara memperkirakan siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu.
misalnya:
      Ayah dan anak meninggal dalam kecelakaan mobil secara bersamaan, dan belum diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu. maka, sebelum warisannya dibagikan, harus ditentukan terlebih dahulu siap yang menignggal lebih dulu, apakah anak laki-laki atau ayah.
katakanlah yang meninggal terleibh dulu adalah anak laki-lakinya, maka ayah mendapatkan jatah warisan dari anak laki-lakinya. setelah itu, baru harta ayah juga di bagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
     Pendapat ini berdasarkan pada argument bahwa sebab waris adalah adanya orang yang hidup ketika sipewaris meninggal. dan hal ini terdapat dalam masalah ini.
     Adapun keadaan mereka yang belun diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu dan meninmbulkan keraguan. maka hal ini tidak menjadi penghalang adanya hak waris. hidupnya salah satu dari mereka merupakan suatu keyakinan. 
Pendapat yang kedua 
     Menurut jumhur ulama, imam hanafi, imam malik dan imam syafi'i. mereka berpendapat bahwa mereka yang meninggal dalam keadaan yang ketiga dan ke empat tidak saling mewarisi. karena dalam keadaan ini terdapat keraguan siapa yang meninggal terleib dahulu .sebagimana qaidah ushul fiqih اليقين لا يزول بالشاق keyakinan itu tidak akan hilang dengan sebuah keraguan, oleh karena itu mereka tidak saling mewarisi.
    Pendapat ini juga dilakukan pada masa khalifah abu bakar ash shidiq dan umar bin Khattab. mereka yang menjadi korban dalam perang, tidak saling mewarisi.
dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapat yang kedua, yaitu pendapat jumhur yang menyatakan bahwa mereka tidak saling mewarisi. cukup dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. 
    Pendapat jumhur lebih kuat, karena dalam pendapat yang pertama terdapat tumpang tindih, jika mereka saling mewarisi maka pembagiannya tidak akan selesai dan tidak akan ada ujungnya.
karena mereka saling mewarisi, setelah pembagian harta mayit pertama, mayit keduapun dibagi hartanya dan mayit pertama yang telah dibagi hartanya mendapatkan jatah waris dari mayit yang pertama, begitu seterusnya dan tidak akan ada ujungnya.