Friday, December 9, 2016

fiqih muslimah

BERCAK DARAH YANG KELUAR SEBELUM MELAHIRKAN, APAKAH DIHUKUMI SEBAGAI DARAH NIFAS?

Oleh: Hilfa Miftahul Fariha

            Banyak ibu hamil yang mengalami flek atau bercak darah, baik berwarna hitam atau  merah yang keluar dari vagina sebelum melahirkan, yang terkadang bercak darah tersebut tidak sampai mengotori celana dalam. Mereka mengalami kebingungan mengenai hukum bercak darah tersebut, apakah dihukumi darah nifas, atau bukan? Karena  hal ini juga berpengaruh terhadap kewajiban shalat, puasa dan lain-lain. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui tentang hukum bercak darah tersebut. Sehinnga kita tidak salah dalam mengambil tindakan, terutama dalam masalah ibadah seperti shalat, puasa dan yang lainnya.
Pengertian nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan karena melahirkan atau setelah melahirkan.  Darah yang keluar sebelum melahirkan , namun disertai dengan tanda-tanda kelahiran kemudian diikuti dengan proses melahirkan yang sebenarnya disebut juga sebagai darah nifas.
Hukum
 Para Ulama fiqih telah mengatakan dengan jelas bahwa bercak darah yang keluar dari wanita hamil sebelum persalinan adalah darah rusak (darah penyakit) dan bukan darah nifas, dengan demikian wanita tersebut tidak dikenakan hukum nifas.  
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, yang disebabkan karena perbedaan mereka dalam memahami makna nifas itu sendiri.  Landasan pendapat para ahli fiqih ini adalah tanda kejadian yang telah biasa terjadi, atau menggunakan kebiasaan dan tanda-tanda dari kelahiran tersebut. Karena tidak ada nash yang menjelaskan secara khusus mengenai hal ini.
Sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan:
العادة محكمة
“Kebiasaan dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.”
Begitupun dalam hal ini, bercak darah tersebut dihukumi sebagai darah nifas jika waktunya sudah mendekati kelahiran dan disertai dengan tanda-tanda melahirkan seperti kontraksi, pembukaan atau rasa sakit. Namun jika tidak, maka bercak darah tersebut tidak dihukumi sebagai darah nifas, melainkan darah rusak (darah penyakit).
Oleh karena itu, jika bercak darah tersebut keluar tanpa diikuti oleh proses melahirkan yang sebenarnya, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah yang rusak. Namun, jika bercak darah yang keluar sebelum melahirkan tersebut kemudian disertai rasa sakit dan diikuti dengan proses melahirkan yang sebenarnya, maka bercak darah tersebut dihukumi sebagai darah nifas.    
Pengaruhnya Dalam Shalat dan Puasa
Wanita hamil yang keluar bercak darah yang tidak bersambung dengan proses melahirkan, hendaklah ia membersihkan darah tersebut dan wudhu ketika hendak melakukan shalat dan ia boleh berpuasa, boleh membaca Al-Qur’an dan ibadah lainnya sebagaimana biasanya. Karena pada asalnya ibadah adalah sebuah kewajiban yang harus dikerjakan secara yakin dan tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan keyakinan juga, Yaitu benar-benar melahirkan. Jika ia menyangka bahwa bercak tersebut adalah darah nifas, namun  ternyata tidak diikuti kelahiran. Maka ia wajib mengganti shalat yang ia tinggalkan pada hari lain setelah ia melahirkan dan selesai dari masa nifas.
Seperti telah dijelaskan diatas, bercak darah yang keluar sebelum melahirkan dan tidak diikuti dengan proses melahirkan yang sebenarnya atau ia keguguran, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah rusak atau istihadah. Sehingga ia tetap harus melaksanakan ibadah sebagaimana wanita yang suci pada umumnya.  Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
حَدِيْثُ عَائِشَةَ  رَضِيَ اللهُ عَنْهَا  (أَنَّ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ قَالَتْ : (يَا رَسُوْلُ اللهُ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ ؟ قَالَ : (لَا . إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنَّ دَعِيَ الصَّلَاةِ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسَلِي
(رواه البخاري)
Artinya: Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaish berkata: Wahai Rasulullah aku mengalami istihadah dan aku belum bersuci, apakah aku boleh meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, darah istihadoh itu darah dari otot. Tinggalkan shalat pada hari-hari kamu biasanya mengalami haid, setelah itu mandilah dan lakukan shalat. (HR Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang mengalami istihadah tidak boleh meninggalkan shalat. Begitupun dengan wanita yang mengeluarkan darah sebelum melahirkan dan tanpa diikuti proses melahirkan yang sebenarnya, maka tetap harus melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Adapun jika ia meninggalkannya karena ia mengira bahwa darah tersebut adalah darah nifas namun ternyata tidak diikuti dengan proses melahirkan yang sebenarnya, maka hendaklah ia menggantinya pada hari ketika ia telah selesai masa nifas.

REFRENSI:
§  Fiqih Wanita, Dr. Ali bin Said Al-Ghamidi, hlm. 273
§  Al-Mughni, Ibnu Qudamah, hlm. 591
§  Fatwa-Fatwa  Tentang Wanita, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jld. 1, hlm. 82

§  Mugni Muhtaj, Imam Abi Zakariya bin Syaraf An-Nawawi, jld. 1, hlm. 158 

Saturday, November 12, 2016

hukum sewa rahim

HUKUM SEWA RAHIM
Oleh: Hilfa Miftahul Fariha
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATARBELAKANG
Allah Subhanahu Wata’ala telah menciptakan laki-laki dan perempuan, yang tujuannya adalah agar mereka saling berpasang-pasangan dan membangun rumah tangga yang tentram dan damai. Sehingga diadakanlah sebuah ikatan yang kokoh, yang dinamakan dengan ikatan pernikahan agar mereka menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Salah satu tujuan adanya ikatan penikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah. Sehingga tidak tercampur  antara satu keluarga dengan keluarga yang yang lain atau dengan anak yang tidak dikenal ayah dan ibunya. Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA. Menyebutkan bahwa salah satu amalan yang tidak akan pernah terputus pahalanya hingga ia telah meninggal dunia adalah do’a anak yang shalih.[1]
Meskipun begitu tidak semua suami istri bisa mendapatkan keturunan yang disebabkan dari banyak faktor. Baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keturunan sebagimana yang mereka inginkan, baik dengan cara pengobatan atau dengan cara memanfaatkan tekhnologi sains modern.
Tekhnologi  sains modern berhasil menciptakan inseminasi buatan  pada manusia. Inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, tetapi dengan cara memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, atau disebut juga dengan penghamilan buatan atau pemanian buatan.[2]
Inseminasi buatan kini telah berubah menjadi penyewaan rahim, dengan mengadakan pembuahan dengan mempertemukan antara sel telur (ovum) dengan spermatozoa  antara suami istri dalam sebuah gelas kemudian di inplementasikan kedalam rahim wanita yang disewa rahimnya sesuai dengan perjanjian, yang mengakibatkan adanya hubungan kasih sayang antara wanita yang mengandung dengan anak yang dikandungnya. [3] Baik dengan aqad bisnis, dengan perjanjian ataupun dengan sama-sama rela.
Oleh karena itu, dizaman yang semakin canggih ini, banyak sekali hal-hal baru yang sebelumnya tidak ada. Sebagaimana adanya penyewaan rahim yang belakangan ini sedang marak dikalangan masyarakat khususnya bagi mereka yang belum bisa memiliki keturunan. Sehingga ada baiknya kita membahas lebih dalam mengenai penyewaan rahim tersebut.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja bentuk-bentuk sewa rahim?
2.      Apa saja penyebab dan tujuan sewa rahim?
3.      Apa hukum sewa rahim?
C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk sewa rahim
2.      Untuk mengetahui penyebab dan tujuan sewa rahim
3.      Untuk mengetahui hukum sewa rahim

D.    MANFAAT
            Adapun manfaat untuk pribadi adalah sebagai tambahan wawasan, bagi Hidayaturrahman sebagai sumbangan pemikiran dan bagi masyarakat sebagai pengetahuan dalam masalah penyewaan rahim. 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian sewa rahim
Sewa rahim adalah penanaman ovum seorang wanita yang subur beserta sperma suaminya yang sah kedalam rahim wanita lain dengan imbalan sejumlah uang atau tanpa balasan karena berbagai alasan. Diantara penyebab terjadinya hal tersebut adalah rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur atau salah satunya yang subur, atau karena pemilik ovum ingi menjaga kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya.[4]
            Menurut W.J.S. Purwadarminto kata sewa berarti pemakaian (peminjaman sesuatu dengan membayar uang), sedangkan kata rahim yaitu kandungan. Jadi pengertian dari sewa rahim menurut bahasa adalah pemakaian atau peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.[5]
B.     Bentuk-bentuk sewa rahim
a.       Benih istri (ovum) disewakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Kaidah ini dilakukan dalam keadaan istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan akibat penyakit yang kronis atau sebab-sebab yang lain.
b.      Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disewakan dibekukan dan dimasukkan kedalam rahim ibu tumpangan selepas kematian pasangan suami istri itu.
c.       Ovum istri disewakan dengan sperma laki-laki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih istri dalam keadaan baik.
d.      Sperma suami disewakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila istri ditimpa penyakit pada ovary dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau istri telah sampai pada tahap menopause.
e.       Sperma suami dan ovum istri disenyawakan kemudian dimasukkan kedalam rahim istri yang lain dari wanita yang sama. Dalam keadaan ini istri yang lain sanggup mengandung anak suaminya dari istri yang tidak boleh hamil.[6]
C.     Sebab atau Tujuan sewa rahim
Adapun sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, diantaranya adalah:
a.       Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara normal karena memilii penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
b.      Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
c.       Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuhnya.
d.      Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus atau menopause.
e.       Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.[7]
D.    Hukum sewa rahim
Dalam hal ini, terdapat perselisihan pendapat diantara para ulama, ada ulama yang membolehkan dan ada juga ulama yang  mengharamkan hal tersebut.Sebab, para ulama terdahulu belum membahas hal tersebut. Adapun para ulama yang mengharamkan sewa rahim diantaranya adalah:
1.      Syaikh Mahmud Syaltut
Adapun jika inseminasi itu berasal dari sperma laki-laki lain yang tidak terikat akad perkawinan dengan wanita tersebut. Mungkin, sewa rahim seperti ini yang banyak dibicarakan dikalangan masyarakat. Maka tentu saja tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut dapat mendorong manusia kedalam kehidupan hewan yang biadab dan tidak berakal. Jika inseminasi buatan tersebut bukan berasal dari sperma suami maka sudah jelas bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang buruk dan sebuah kejahatan yang lebih mungkar dari memungut anak.[8]
2.      Dr. Yusuf Qardawi
Beliau berpendapat bahwa sewa rahim tidak diperbolehkan. Karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan ketidak jelasan. Siapakah ibu dari anak tersebut, sang pemilik sel telur atau wanita yang mengandung dan melahirkannya. Padahal wanita tersebut hamil bukan karena keinginannya sendiri.[9]
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keharaman sewa rahim tersebut ditinjau dari beberapa segi. Dari segi etika, dapat mengantarkan manusia pada taraf  kehidupan seperti hewan. Dari segi sosial, memasukkan sel telur kedalam rahim wanita lain adalah haram hukumnya sebab dapat menimbulkan hilangnya rasa keibuan dan merusak tatanan kehidupan.
3.      Syaikh Ali At-Tantawi
Menurut Syaikh Ali At-Tantawi inseminasi buatan dengan menggunakan rahim dari wanita lain adalah tidak dibenarkan dalam islam. Beliau tidak membenarkan hal ini disebabkan karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam pembentukan dan penumbuhan janin, karena ia mengkonsumsi makanan dari darah ibu Yang mengandungnya.
4.      Propesor Abdullah Al-Jibrin Rahimahullah
Kita katakan ini adalah sebuah kemungkaran, karena tidak ada para ulama sebelumnya yang membahas tentang hal ini dan tidak disebutkan oleh para ulama dan imam-imam orang islam bahwa hal ini boleh. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa hal ini hukumnya adalah haram.
Para ulama yang menyatakan bahwa hukum sewa rahim hukumnya adalah haram, mereka mengambil pendapat ini dengan dalil:
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surat Al-Mu’minun: 5-6
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْن
Dan orang-orang yang tidak menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”



 Begitu juga dalam surat An-Nahl: 72
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيُّبَاتِ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللهِ هُمْيَكْفُرُوْنَ
“ Dan Allah Subhanahu Wata’ala menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenismu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah Subhanahu Wata’ala?”
Mereka juga berpendapat bahwa dalam sewa rahim ini memiliki banyak kemadharatan dan kerusakan didalamnya, diantaranya yaitu:
a.       terjadinya percampuran nasab.
b.      tidak adanya hubungan syar’i antara wanita pemilik rahim dan laki-laki pemilik sperma.
c.       terdapat perselisihan antara dua wanita dalam hal siapakah ibu anak tersebut, pemilik rahim atau pemilik sel telur.[10]
Adapun para ulama yang membolehkan sewa rahim diantaranya adalah Prof. Dr. Jurnalis Udin, H. Ali Akbar dan H. Salim Dimyati. Mereka membolehkan sewa rahim dengan beberapa hal yang harus dipenuhi, diantaranya adalah:
a.       Benih berasal dari suami istri yang sah.
b.      Rahim sang istri mengalami kerusakan atau gangguan sehingga tidak dapat mengandung embrio hingga lahir.
c.        Sewa rahim merupakan jalan terakhir atau jalan satu-satunya.
d.      Keinginan untuk memperoleh anak sangat besar.[11]
Mereka membolehkan sewa rahim dengan dalil:
1)      Mereka mengkiaskan sewa rahim dengan ibu susuan, menyusukan anak kepada wanita lain diperbolehkan dalam islam dan boleh diupahkan. Maka boleh juga memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
2)      Dalam keadaan darurat, para ulama memberikan syarat bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan darurat.
a.       Kondisi bahaya besar itu benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini  kuat akan terjadi.
b.      Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
c.       Ukuran melanggar hanya saat kondisi terpaksa itu saja, dan hanya dilakukan sekedarnya saja.[12]
d.      Waktu melanggar tidak boleh melebihi waktu dari waktu darurat tersebut.
e.       Melanggar dalam kondisi darurat tersebut diyakini tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Bagi suami istri yang sangat merindukan kehadiran seorang anak, namun ia tidak bisa memperolehnya dengan cara alami (pembuahan didalam rahim). Maka dengan cara sewa rahim ini suami istri tersebut dapat segera mendapatkan anak yang telah lama dirindukannya. Disinilah letak kemaslahatannya sehingga hal ini didasarkan atas sebuah kaidah ushul yaitu maslahat al-mursalah. Sebab hal ini telah memenuhi syarat diperbolehkannya mengamalkan maslahat al-mursalah yaitu:
1.      Sesuai dengan maksud sebuah syariat.
2.      Merupakan hal yang masuk akal atau logis.
3.      kemaslahatannya berguna bagi manusia pada umumnya dan bukan untuk sebuah kemaslahatan pribadi.[13]
Dalam hal ini berlaku juga kaidah الحاجة تنزيل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة " " kebutuhan itu menduduki posisi darurat baik secara umum maupun khusus. Sewa rahim itu hukum asalnya adalah haram namun dibolehkan karena adanya kebutuhan manusia untuk memperoleh anak, bagi orang yang tidak bisa memperoleh anak dengan cara alami (pembuahan didalam rahim). Namun, tetap harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syaratnya.[14] 
BAB 3
PENUTUPAN
A.    KESIMPULAN
Seperti telah dipaparkan diatas, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal sewa rahim. Ada ulama yang membolehkan dan ada ulama yang mengharamkan, pendapat-pendapat mereka, tentunya didasari dengan dalil dan ilmu yang mereka miliki. Perbedaan ini disebabkan karena hal ini tidak ada nash yang membahas hal ini secara jelas dan para ulama terdahulupun tidak membahas mengenai hal yang baru ini sehingga membutuhkan ijtihad dari para ulama.
Berikut ini penulis deskrifsikan bentuk-bentuk sewa rahim berserta hukumnya dalam sebuah tabel:

No
Asal
Sperma
Asal
ovum

Tempat penitipan

Hukum
1.
Suami
Istri
Rahim istri
Halal
2.
Suami
Istri
Rahim orang lain
Halal/ Haram
3.
Suami
donor
Rahim istri
Haram
4.
Donor
Istri
Rahim istri
Haram
5.
Suami
donor
Rahim orang lain
Haram
6.
Donor
Istri
Rahim orang lain
Haram
7.
Donor
donor
Rahim orang lain
Haram

Dalam sewa rahim ini, yang menjadi perselisihan diantara para ulama adalah jenis kedua. Jenis ini adalah sperma dan ovum berasal dari suami istri yang istri yang sah dan dititipkan di rahim wanita lain. Namun, dalam hal ini penulis memilih pendapat yang membolehkan sewa rahim dengan disertai beberapa syarat yang harus dipenuhi, jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka hal ini menjadi haram. Adapun syarat tersebut diantaranya adalah:
a.       Benih berasal dari suami istri yang sah.
b.      Rahim sang istri mengalami kerusakan atau gangguan sehingga tidak dapat mengandung embrio hingga lahir.
c.        Sewa rahim merupakan jalan terakhir atau jalan satu-satunya.
d.      Keinginan untuk memperoleh anak sangat besar.
Bagi suami istri yang sangat merindukan kehadiran seorang anak, namun ia tidak bisa memperolehnya dengan cara alami (pembuahan didalam rahim). Maka dengan cara sewa rahim ini suami istri tersebut dapat segara mendapatkan anak yang telah lama dirindukannya. Disinilah letak kemaslahatannya, sehingga hal ini didasarkan atas sebuah kaidah ushul yaitu maslahat al-mursalah. Sebab hal ini telah memenuhi syarat diperbolehkannya mengamalkan maslahat al-mursalah yaitu:
1.      Sesuai dengan maksud sebuah syariat.
2.      Merupakan hal yang masuk akal atau logis.
3.      Kemaslahatannya berguna bagi manusia pada umumnya dan bukan untuk sebuah kemaslahatan pribadi.
Dalam hal ini berlaku juga kaidah الحاجة تنزيل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة " " kebutuhan itu menduduki posisi darurat baik secara umum maupun khusus. Sewa rahim itu hukum asalnya adalah haram, namun dibolehkan karena adanya kebutuhan manusia untuk memperoleh anak bagi orang yang tidak bisa memperoleh anak dengan cara alami (pembuahan didalam rahim). namun, tetap harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syaratnya.
B.     SARAN
Sewa rahim merupakan sebuah permasalahan yang baru terjadi dikalangan kita. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar kita berhati-hati dalam permasalahan ini, jika ada jalan yang lain atau alternatif lain untuk memperoleh anak lebih baik tidak melakukan hal semacam ini. Sebab hukum asal dari sewa rahim adalah haram, namun dibolehkan karena adanya kebutuhan manusia, bagi yang tidak bisa melakukan pembuahan didalam rahim dan memenuhi syarat-syarat yang telah kita bahas di atas. 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Burnu, Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, Al-Wajiz fi Idhahi Qawaidul Fiqhi Al-Kuliyyah, Riyadh: Muasasah Ar-Risalah, 1430 H
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah, Al-Wajiz Fi Ushulil Fiqhi, Damaskus: Darul Fikr, 1999 M
Qardawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, cet, ke-1, jilid. III Jakarta: Gema Insani Press, 2002 M
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Ushul Fiqih, jilid. 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grouf
Sarwat, Ahmad, Fiqih Kontemporer, cet, ke-1,2,3,4, Du Center
Zaidan, Dr. Abdul Karim, Al-Wajiz 100 Kaidah Fiqih Dalam Kehidupan Sehari-Hari, penerjemah. Muhyiddin Mas Ridha, Lc, cet. ke-1, Jakarta: Al-Kautsar, 2008 M
isjd.pdii.go.id./admin/jurnal/611083344_1693.pdf, diakses pada 23 Agustus 2016, pukul 14.35 WIB
http://kerandamimpi.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 Agustus 2016, pukul 08.21 PM
http://munfarida.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 Agustus 2016, pukul 08.36 PM
http://yasinamka.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 Agustus 2016, pukul 09.43 PM
http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/ diakses tanggal 24 Agustus 2016, pukul 04.44 PM
http://ar.islamway.net/fatwa/40263/- تأجير-الأرحامdiakses tanggal 15 Oktober 2016, pukul 11.08 PM





[1] Zain H. Al- Hamid, “Rumah Tangga Muslim”, (Semarang: Mujadin, 1981 M), Hal. 33
[2] M. Ali Hasan, “Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam”,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ketiga 1998), Hal, 70
[3] isjd.pdii.go.id./admin/jurnal/611083344_1693.pdf, diakses pada 7 November 2012, pukul 14.35 WIB.
[4] http://kerandamimpi.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 agustus 2016, pukul 08.21 PM
[5] http://munfarida.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 agustus 2016, pukul 08.36 PM
[6] http://yasinamka.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 agustus 2016, pukul 09.43 PM
[7] http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/ diakses tanggal 24 agustus 2016, pukul 04.44 PM
[8] Abd. Salam Arief, “Pembaruan Hukum Islam, Antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut,” (Yogyakarta, LESFI: 2003 M), Hal. 165
[9] Yusuf Qardawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, Cet, ke-1, Jilid. III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002 M), Hal. 659-660

[10] http://ar.islamway.net/fatwa/40263/- تأجير-الأرحامdiakses tanggal 15 oktober 2016 jam 11.08
PM
[12] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad Al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idhahi Qawaidul Fiqhi Al-Kuliyyah”, (Riyadh, Muasasah Ar-Risalah: 1430 H), Hal. 147


[13] Dr. Wahbah Zuhaili, “Al-Wajiz Fi Ushulil Fiqhi”, (Darul fikr, Damaskus: 1999 M), Hal. 96
[14] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad Al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idhahi Qawaidul Fiqhi Al-Kuliyyah”, (Riyadh, Muasasah Ar-Risalah: 1430 H), Hal. 151