TRANSPLANTASI ORGAN HEWAN TERHADAP MANUSIA
oleh: Hilfa Miftahul Fariha
Transplantasi
menurut bahasa adalah memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Transplantasi
juga dapat diartikan dengan pencangkokan. Sedangkan menurut istilah,
transplantasi organ adalah transplantasi atau memindah seluruh atau sebagian
organ dari satu tubuh ketubuh yang lain, atau dari satu tempat ketempat yang
lain pada tubuh yang sama.
Transplantasi
ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tidak dapat berfungsi.
Pencangkokan jaringan atau organ adalah sebagai usaha terakhir pengobatan bagi
orang yang bersangkutan. Adakalanya pencangkokan itu dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi manusia, seperti jantung, hati, dan ginjal, naum
adakalanya juga dilakukan hanya untuk menyempurnakan atau mengobati kekurangan
yang ada pada pasangan, seperti pencangkokan kornea mata dan menambal gigi
sumbing.
Berdasarkan
hubungan genetik antara donor dan penerima, maka transplantasi digolongkan
menjadi tiga bagian:
1. Auto Transplantation, yaitu dimana donor dan penerima berasal dari satu
individu. Misalnya seseorang yang diambilkan daging pahanya untuk menampal
pipinya.
2. Homo transplantation, yaitu transplantasi yang donor dan penerimanya
berasal dari manusia ke manusia, atau dari binatang ke binatang. Misalnya
transplantasi hati dari satu orang keorang lain.
3. Hetero transplantation, yaitu transplantasi yang dilakukan dari individu
yang berlainan. Artinya dari organ hewan ke manusia atau sebaliknya. Misalnya
transplantasi jantung katup babi untuk manusia.
Pada
kedokteran modern zaman ini transplantasi tidak hanya dengan organ manusia tapi
banyak yang menggunakan organ hewan baik dari hewan yang halal dikonsumsi
maupun hewan yang haram dikonsumsi menurut islam. Jika ditinjau secara hukum
islam, hewan yang halal dikonsumsi diperbolehkan untuk melakukan transplantasi.
Ini berdasarkan keputusan akademi Fiqih Islam Liga Dunia Muslim, Mekah, Arab
Saudi, pada pertemuan kerjanya yang ke-8, yang dilaksanakan pada tanggal 19-28
Januari 1985. Dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan bukan untuk
merusak ciptaan Allah SWT. Walaupun pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyinggung
hukum transplantasi hewan terhadap manusia, namun berdasarkan dalil Al-Qur’an
yang sangat menekankan akan keselamatan nyawa manusia:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا
أَحْيَاالنَّاسَ جَمِيْعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ
إِنَّ كَثِيْرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
“Barangsiapa
memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara
kehidupan semua manusia..” (QS. Al-Maidah:32)
Namun dalam hal ini ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan transplantasi organ hewan kepada
manusia:
a.
Organ yang akan
ditransplantasikan adalah berasal dari hewan yang halal, maksudnya adalah halal
dikonsumsi oleh umat islam.
b.
organ yang akan
ditransplantasikan kepada manusia harus berasal dari hewan yang disembelih
secara islami.
Adapun transplantasi organ hewan
dengan menggunakan hewan yang haram dikonsumsi, Mukhtamar ke-29 NU, dalam
masalah ini menyatakan bahwa transplantasi organ hewan yang haram dikonsumsi seperti babi, digunakan untuk
menggantikan organ atau sejenis lainnya pada manusia, hukumnya tidak
diperbolehkan. Kecuali sangat diperlukan dan tidak ada cara lain yang lebih
efektif lagi, maka hukumnya menjadi boleh (diberikan dispensasi hukum atau
ma’fu).
Dari penjelasan diatas dapat diambil
pengertian, bahwa dalam kondisi yang efektif dan memungkin dengan cara atau
dengan jalan lain (menggunkan hewan yang halal dikonsumsi) maka transplantasi
dengan menggunkan hewan yang haram dikonsumsi seperti babi adalah tidak
diperbolehkan.
Para ulama madzhab telah sepakat
pada asalnya transpalantasi dengan menggunakan organ yang berasal dari hewan
yang diharamkan adalah haram hukumnya. Namun, jika dalam kodisi darurat para
ulama berselisih pendapat.
Golongan terbesar dari para imam mujtahid
berpendapat, bahwa haram berobat dengan barang najis atau yang diharamkan.
pendapat ini dipegang oleh jumhur para
ulama madzhab dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah serta pendapat yang masyhur
dikalangan madzhab Hanafiyah. Hal ini berdasarkan kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Darda’ yang menerangkan bahwa Rasulullah saw, bersabda:
إِنَّ الله اَنْزَلَ الدَّاءِ
وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَدَاوَوا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan
penyakit dan obatnya. Dan ia menjadikan bagi tiap-tiap penyakit ada obatnya,
maka berobatlah kamu, tetapi janganlah kamu berobat dengan yang haram. (HR. Abu
Dawud).
Dengan penjelasan hadits tersebut
hukumnya telah dianalisa oleh para ulama Fiqih yaitu Imam Hanafi dan Imam
Syafi’i:
1.
Imam Syafi’i dan Imam
Hanafi mengharamkan dalam keadaan yang tidak memaksa mempergunakannya, karena
masih ada obat lain yang suci dan halal sebagai penggantinya.
2.
imam Syafi’i dan Imam
Hanafi membolehkan dalam keadaan yang sangat diperlukan karena tidak ada obat
lain yang dipakai untuk gantinya, menurut nasihat dokter muslim yang ahli.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
transplantasi organ hewan yang berasal dari hewan yang haram dikonsumsi
diperbolehkan dalam kondisi darurat atau hajat, sebagimana kaidah Fiqih:
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan darurat
membolehkan hal-hal yang dilarang.”
Menurut kaidah islam ini sendiri
menjelaskan bahwa sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan. Dalam konteks penyakita
yang membutuhkan transplantasi organ hewan yang haram, karena tidak ada obat
yang lainnya, maka pengobatan dengan transplantasi organ hewan yang haram
dikonsumsi diperbolehkan, demi hilangnya bahaya yang mengancam si penderita.
REFERENSI:
-
Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid. 11, Hal. 118
-
Majmu syarhul muhadzab,
jilid. 16, hal. 467
-
Sunan Abu Dawud,
Kitab. Ath-Thib, hal.610