Friday, January 12, 2018

transplantasi organ hewan terhadap manusia

TRANSPLANTASI ORGAN HEWAN TERHADAP MANUSIA
oleh: Hilfa Miftahul Fariha
            Transplantasi menurut bahasa adalah memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Transplantasi juga dapat diartikan dengan pencangkokan. Sedangkan menurut istilah, transplantasi organ adalah transplantasi atau memindah seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ketubuh yang lain, atau dari satu tempat ketempat yang lain pada tubuh yang sama.
            Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tidak dapat berfungsi. Pencangkokan jaringan atau organ adalah sebagai usaha terakhir pengobatan bagi orang yang bersangkutan. Adakalanya pencangkokan itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, seperti jantung, hati, dan ginjal, naum adakalanya juga dilakukan hanya untuk menyempurnakan atau mengobati kekurangan yang ada pada pasangan, seperti pencangkokan kornea mata dan menambal gigi sumbing.
            Berdasarkan hubungan genetik antara donor dan penerima, maka transplantasi digolongkan menjadi tiga bagian:
1.      Auto Transplantation, yaitu dimana donor dan penerima berasal dari satu individu. Misalnya seseorang yang diambilkan daging pahanya untuk menampal pipinya.
2.      Homo transplantation, yaitu transplantasi yang donor dan penerimanya berasal dari manusia ke manusia, atau dari binatang ke binatang. Misalnya transplantasi hati dari satu orang keorang lain.
3.      Hetero transplantation, yaitu transplantasi yang dilakukan dari individu yang berlainan. Artinya dari organ hewan ke manusia atau sebaliknya. Misalnya transplantasi jantung katup babi untuk manusia.
            Pada kedokteran modern zaman ini transplantasi tidak hanya dengan organ manusia tapi banyak yang menggunakan organ hewan baik dari hewan yang halal dikonsumsi maupun hewan yang haram dikonsumsi menurut islam. Jika ditinjau secara hukum islam, hewan yang halal dikonsumsi diperbolehkan untuk melakukan transplantasi. Ini berdasarkan keputusan akademi Fiqih Islam Liga Dunia Muslim, Mekah, Arab Saudi, pada pertemuan kerjanya yang ke-8, yang dilaksanakan pada tanggal 19-28 Januari 1985. Dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan bukan untuk merusak ciptaan Allah SWT. Walaupun pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyinggung hukum transplantasi hewan terhadap manusia, namun berdasarkan dalil Al-Qur’an yang sangat menekankan akan keselamatan nyawa manusia:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاالنَّاسَ جَمِيْعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيْرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
“Barangsiapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia..” (QS. Al-Maidah:32)
            Namun dalam hal ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan transplantasi organ hewan kepada manusia:
a.       Organ yang akan ditransplantasikan adalah berasal dari hewan yang halal, maksudnya adalah halal dikonsumsi oleh umat islam.
b.      organ yang akan ditransplantasikan kepada manusia harus berasal dari hewan yang disembelih secara islami.
            Adapun transplantasi organ hewan dengan menggunakan hewan yang haram dikonsumsi, Mukhtamar ke-29 NU, dalam masalah ini menyatakan bahwa transplantasi organ hewan yang  haram dikonsumsi seperti babi, digunakan untuk menggantikan organ atau sejenis lainnya pada manusia, hukumnya tidak diperbolehkan. Kecuali sangat diperlukan dan tidak ada cara lain yang lebih efektif lagi, maka hukumnya menjadi boleh (diberikan dispensasi hukum atau ma’fu).
            Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian, bahwa dalam kondisi yang efektif dan memungkin dengan cara atau dengan jalan lain (menggunkan hewan yang halal dikonsumsi) maka transplantasi dengan menggunkan hewan yang haram dikonsumsi seperti babi adalah tidak diperbolehkan.
            Para ulama madzhab telah sepakat pada asalnya transpalantasi dengan menggunakan organ yang berasal dari hewan yang diharamkan adalah haram hukumnya. Namun, jika dalam kodisi darurat para ulama berselisih pendapat. 
            Golongan terbesar dari para imam mujtahid berpendapat, bahwa haram berobat dengan barang najis atau yang diharamkan. pendapat ini dipegang  oleh jumhur para ulama madzhab dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah serta pendapat yang masyhur dikalangan madzhab Hanafiyah. Hal ini berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Darda’ yang menerangkan bahwa Rasulullah saw, bersabda:
إِنَّ الله اَنْزَلَ الدَّاءِ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَدَاوَوا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
            “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan ia menjadikan bagi tiap-tiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kamu, tetapi janganlah kamu berobat dengan yang haram. (HR. Abu Dawud).
            Dengan penjelasan hadits tersebut hukumnya telah dianalisa oleh para ulama Fiqih yaitu Imam Hanafi dan Imam Syafi’i:
1.      Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengharamkan dalam keadaan yang tidak memaksa mempergunakannya, karena masih ada obat lain yang suci dan halal sebagai penggantinya.
2.      imam Syafi’i dan Imam Hanafi membolehkan dalam keadaan yang sangat diperlukan karena tidak ada obat lain yang dipakai untuk gantinya, menurut nasihat dokter muslim yang ahli.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa transplantasi organ hewan yang berasal dari hewan yang haram dikonsumsi diperbolehkan dalam kondisi darurat atau hajat, sebagimana kaidah Fiqih:
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
            Menurut kaidah islam ini sendiri menjelaskan bahwa sesuatu yang membahayakan  harus dihilangkan. Dalam konteks penyakita yang membutuhkan transplantasi organ hewan yang haram, karena tidak ada obat yang lainnya, maka pengobatan dengan transplantasi organ hewan yang haram dikonsumsi diperbolehkan, demi hilangnya bahaya yang mengancam si penderita.
REFERENSI:
-          Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid. 11, Hal. 118
-          Majmu syarhul muhadzab, jilid. 16, hal. 467

-          Sunan Abu Dawud, Kitab. Ath-Thib, hal.610

Friday, January 5, 2018

tanya jawab

Mana yang lebih afdhal, shalat dalam kondisi telah berwudhu tetapi sambil menahan kencing atau kencing terlebih dahulu  kemudian shalat dengan tayamum karena air telah habis digunkan untuk istinja’?
    jawab:
    Shalat yang dilakukan dengan tayamum serta tidak menahan kencing lebih utama dibandingkan shalat dengan shalat dalam kodisi berwudhu tetapi sambil menahan kencing. Karena shalat dengan menahan kencing hukumnya makruh, sehingga dilarang. Adapun sah atau tidaknya shalat tersebut ada dua pendapat. Sedangkan shalat dengan tayamum disepakati sah hukumnya dan tidak makruh hukumnya.