Wednesday, February 1, 2017

USRAH


HUKUM NAFKAH BAGI WANITA YANG SEDANG DALAM MASA IDDAH

Oleh: Hilfa Miftahul Fariha

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latarbelakang
Agama islam adalah agama yang sempurna dan rahmatan lil’alamin. Semua yang kita alami sudah Allah swt atur dalam agama islam, dari hal terbesar sampai hal terkecil sekalipun. Begitu juga dengan masalah nafkah, ketika ijab dan Qabul telah sah maka sejak saat itu juga seorang suami harus siap memberikan nafkah kepada istrinya.
Namun diera globalisasi ini banyak permasalahan yang timbul, umumnya dalam masalah pernikahan yang sangat beragam bentuknya. Diantara permasalahan tersebut adalah ketika seorang wanita ditalaq dan ia berada dalam masa iddah, bagaimana hukum nafkah atas wanita tersebut. hal tersebut terkadang diabaikan atau bahkan cenderung disepelakan oleh masyarakat pada umumnya, sehingga banyak orang yang tidak mengerti permasalahan ini.
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat penting dan harus difahami oleh kedua belah pihak, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami. Karena hal ini masyarakat tidak terlalu mengerti atau bahkan menyepelekan hal ini, maka banyak diantara kita yang menemukan kebingungan dalam permasalah nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin membahas mengenai hal ini.
B.     Rumusan Masalah
1.        Apa hukum nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
2.        apa syarat-syarat nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
3.        apa sebab-sebab nafkah wanita yang sedang dalam masa iddah?
C.     Tujuan
1.        untuk mengetahui hukum nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah
2.        untuk mengetahui syarat-syarat  nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah
3.        Untuk mengetahui sebab-sebab nafkah bagi wanita yang sedang dalam masa iddah
D.     Manfaat
Sebagai sumbangan pemikiran bagi ma’had Aly Hidayaturrahman dan sebagai tambahan wawasan bagi penulis khususnya serta bagi pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Definisi
1.      Definisi nafkah
Nafkah merupakan bahasa serapan dari bahasa arab nafaqah. Nafkah sacara bahasa berasal dari kata نفقُ – نفاقاَ yang artinya habis, dan أنفق  yang artinya membelanjakan.[1] Nafkah juga diartikan sebagai sesuatu yang diwajibkan bagi istri atas suaminya berupa harta, baik makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.[2]
Secara istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dikeluarkan dan hanya dipakai dalam sebuah kebaikan.[3] Dalam pengertian bahasa indonesia nafkah adalah belanja untuk hidup, (uang) pendapatan suami yang wajib diberikan kepada istrinya, atau bekal hidup sehari-hari berupa rezeki.[4]
Adapun menurut istilah fiqih, fuqaha memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabotan rumah tangga.[5] 
Nafkah juga diartikan sebagai “belanja”. Belanja disini maksudnya adalah memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga,pengobatan istri, jika ia seorang yang kaya. [6]
            Maka dari beberapa pengertian diatas mengenai nafkah, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah kewajiban seseorang atas orang yang ditanggungnya yang berupa kebutuhan baik berupa makanan, pakaian dan yang lainnya. Adapun nafkah dalam pernikahan adalah kewajiban suami atas istrinya yang berupa kebutuhan, disebabkan karena adanya ikatan tali pernikahan. Baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebaginya.
2.      Definisi Iddah
Secara etimologi iddah  adalah jama’ dari (عدّ-يعدّ-عدّة)    dan jamaknya adalah (عدد) yang artinya menghitung atau hitungan.[7] Iddah juga diartikan sebagai batasan syar’i bagi seorang wanita yang telah ditalaq oleh suaminya atau karena suaminya meninggal.[8]
            Secara terminologi iddah adalah nama dari suatu masa, ketika seorang perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan dari melangsungkan pernikahan, baik setelah suaminya wafat atau karena dicerai oleh suaminya.[9] Menurut ulama Hanafiyah, iddah  adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang harus dilaksanakan setelah putusnya pernikahan, baik pernikahan secara sah ataupun secara syubhat, baik ia yakin telah terjadi dukhul atau belum, atau juga disebabkan karena kematian suami. Sedangkan menurut madzhab Maliki, iddah adalah masa dilarangannya untuk menikah dengan sebab talaq. Menurut madzhab Syafi’i, iddah adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui kosongnya rahim, dan menurut madzhab Hanabilah, Iddah adalah masa penantian, yang tidak dihalalkan menikah dengan sebab talaq atau sebab suaminya meningga luntuk mengetahui kosongnya rahim.[10]
            Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iddah  menurut syari’at islam adalah masa menunggu dan menahan seorang wanita dari menikah lagi setelah putusnya tali pernikahan, disebabkan karena ia ditalak oleh suaminya dan ia telah melakukan dukhul, atau karena suami meninggal.
            Melihat dari definisi nafkah dan iddah diatas dapat kita simpulkam bahwa nafkah iddah  adalah segala sesuatu yang dibelikan oleh seorang suami kepada istrinya yang telah diceraikan untuk memenuhi kebutuhannya, baik berupa pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.
B.     Dasar Hukum
Didalam Al-Qur’an Allah swt telah menjelaskan ketentuan mengenai nafkah dan Iddah, yaitu dalam surat At-Talaq ayat 6 dan 7:
أَسْكِنُ هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ  فَئَاتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ وَأْتَمِرُوْابَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُوْ لَهُ أُخْرَى (6) ليُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُس
                ”Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemukan kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (6) Hendaklah orang-orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah swt kepadanya. Allah swt tidak memikulkan beban kepada seorangpun melainkan sekedar apa yang Allah swt berikan kepadanya. Allah swt kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”[11] 
                Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan istrinya, karena itu suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya, sebagaimana firman Allah Swt, surat Al-Baqarah: 228:
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْء وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَبُعُوْلَتُهُنَّ أَحَقَّ بِرَدِّ هِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوْا إِصْلَحَا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَة وَالله عَزِيْزٌ حَكِي
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah swt dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah swt dan hari akhirat.  Suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah, dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada istrinya, dan Allah swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."[12]
Adapun menurut hadits Rasulullah saw  yang beliau sampaikan ketika haji wada yaitu:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah swt pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah swt dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah swt. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh  permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi suami adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[13]
C.     Hukum Nafkah Iddah
            Para ulama bersepakat bahwa istri yang ditalaq raj’i  baik sedang hamil atau tidak, maka wanita tersebut wajib diberi nafkah oleh suaminya karena masih terhitung sebagai istri,[14] sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan." [15]
Para wanita yang sedang dalam masa iddah raj’i baik hamil ataupun tidak mereka berhak mendapatkan nafkah berupa 3 jenis, yaitu nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.[16]
Sedangkan jika ia berada dalam masa iddah talaq ba’in, para ulama berbeda pendapat. Madzhab Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang wanita yang sedang dalam masa iddah karena talaq ba’in maka ia tetap mendapatkan nafkah dan tetap mendapatkan tempat tinggal selama ia tidak keluar dari rumah yang ditempatinya.[17] Adapun wanita yang sedang dalam masa iddah wafat  maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah karena wanita yang sedang dalam masa iddah wafat, sudah tidak ada lagi yang menanggung nafkahnya, sebab yang mempunyai kewajiban untuk menanggung nafkahnya adalah suaminya, akan tetapi ia tetap berhak mendapatkan tempat tinggal dengan syarat ia tidak keluar dari tempat tinggal tersebut kecuali karena udzur syar’i.[18]
            Sedangkan menurut madzhab Syafi’iyah menyebutkan bahwa wanita yang berada dalam masa iddah talaq ba’in, baik talaq ba’in dengan khulu’ atau mengambil talak tiga secukupnya, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal baik dalam keadaan hamil ataupun tidak. Sesuai dengan firman Allah ta’ala.
 أَسْكِنُ هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ
  “ Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”[19]
Adapun jika wanita itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suami, maka dalam   hal memperoleh hak tempat tinggal, ada dua pendapat:
1.      Tidak wajib, sama seperti juga tidak  wajib mendapatkan belanja.
2.      Wajib mendapatkan tempat tinggal, ini adalah pendapat yang benar.
Sedangkan wanita yang iddah karena pembatalan nikah atau faskh, baik karena sebab riddah,atau masuk islam atas orang kafir, atau sebab persusuan atau sebab cacat dan sebagainya, maka ia wajib mendapatkan tempat tinggal.[20]
      Adapun menurut Madzhab Maliki seorang wanita yang ditalaq ba’in maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya kecuali ia dalam keadaan hamil dan nafkah tersebut ditujukan untuk anak yang dikandung oleh wanita tersebut, hanya saja ia tetap mendapatkan hak tempat tinggal dari mantan suaminya. Sebab nafkah hanya terjadi pada para wanita yang ditalaq raj’i baik ia dalam keadaan hamil ataupun tidak.[21]
jika seorang wanita yang sedang dalam masa iddah wafat, maka ia wajib mendapatkan tempat tinggal jika ia telah jima’ dan memiliki anak kecil. Namun, jika ia belum jima’ dan ia berada dirumah keluarganya, maka ia tidak wajib mendapatkan tempat tinggal.[22] 
Madzhab Hambali berpendapat, bahwa wanita yang ditalaq ba’in tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Alasannya ialah hadits fathimah binti Qais. Bahwa fathimah binti Qais datang bersama saudara suaminya kepada Rasulullah saw, Fathimah melaporkan katanya: “suamiku telah menjatuhkan talaq kepadaku, saudaranya yang datang bersamaku ini menyatakan bahwa aku tidak mendapatkan jaminan nafkah dan tempat tinggal.” Rasulullah saw berkata: “Bahwa engkau mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.” Saudara suaminya berkata: “ ia telah ditalaq tiga oleh suaminya,” Rasulullah saw  menegaskan: “bahwa jaminan tempat tinggal dan nafkah ialah bagi perempuan yang suaminya berhak kembali kepadanya.”[23] Sedangkan wanita yang sedang dalam masa iddah baik ia dalam keadaan hamil ataupun tidak, maka ia tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal.[24]
D.     Sebab-Sebab Nafkah Iddah
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah masih terhitung mendapatkan hak-haknya dari suaminya. Wanita tersebut tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai ia selesai masa iddahnya. Oleh karena ini, maka sang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang sedang dalam masa iddah dalam bentuk makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan hal tersebut wajib ditunaikan sebagaimana suami memberikan nafkah kepada istrinya yang sah dan ukurannya nafkahnya disesuaikan dengan keadaan suaminya, apakah dia dalam keadaan lapang atau sempit.[25]

E.      Syarat-Syarat Nafkah Iddah
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah akan mendapatkan nafkah jika ia tidak menikah lagi dengan laki-laki lain selama dalam masa iddahnya dan melakukan hal-hal yang mengantarkan pada hal tersebut. Seperti keluar rumah  tanpa udzur, maka sang suami boleh tidak memberikan nafkah kepada istri yang sedang dalam masa iddah dan dan ia keluar dari tempat tinggalnya tanpa udzur syar’i.[26]

F.      Kesimpulan
Para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talaq raj’i baik dalam keadaan hamil atau tidak, maka tetap wajib mendapatkan nafkah mereka berhak mendapatkan nafkah berupa 3 jenis, yaitu nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Sebab seorang wanita yang sedang dalam masa iddah masih terhalangi untuk menunaikan hak-hak suaminya. Wanita tersebut tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai ia selesai masa iddahnya dan ia tetap harus menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Oleh karena ini, maka sang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang sedang dalam masa iddah dalam bentuk makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan hal tersebut wajib dijaga sebagimana suami memberikan nafkah kepada istrinya yang sah dan ukurannya nafkahnya disesuaikan dengan keadaan suaminya, apakah dia dalam keadaan lapang atau sempit.
Namun, haknya akan hilang ketika ia menikah lagi dengan laki-laki lain selama dalam masa iddahnya dan melakukan hal-hal yang mengantarkannya pada hal tersebut, seperti keluar rumah  tanpa udzur, maka sang suami boleh tidak memberikan nafkah kepada istri yang sedang dalam masa iddah dan dan ia keluar dari tempat tinggalnya tanpa udzur syar’i
Sedangkan jika ia berada dalam masa iddah talaq ba’in, para ulama berbeda pendapat. Namun, pendapat yang paling kuat menurut penulis adalah wanita yang ditalaq ba’in tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka ia berhak mendapatkan nafkah yang ditujukan untuk anak tersebut.
Sedangkan jika seorang wanita yang sedang dalam masa iddah wafat, para ulama sepakat bahwa mereka tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal jika ia belum jima’.



DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005
Ahmad , Imam Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, jild. 6, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al- Ilmiah
Al-jazary , Abdurrahman, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah, cet 4, jild. 4, Lebanon: Al-  Kotob Al-‘Ilmiyah, 2011 M
Al-Kasani ,Ibnu Mas’ud , Badai’ Ash-Shanai’, jild. 5,  Beirut: Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah
Al-Qurtubi , Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an, jild. 9, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiah,  1993 M
Az-Zuhaili ,Dr, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk,         jild. 10, Jakarta: Gema Insani Dar Al-Fikr, 2011 M
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 3, Jakarta: Balai         Pustaka, 1991 M
 Ibrahim, Dr, Madkur, Al-Mu’jam Al-Wasith, ttp.: t.p.,t.t.
Khalaf , Abdul Wahab, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah Fii Asy-Syar’i Al-Islamiyah Alaa            Waqfi Madzhab Abi       Hanifah, Kuwait: Daar Al-Qalam Linnasyri wat-Tauzii’, 1410 H-         1990 M
Khilafun , Abdul Wahhab , Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, cet. 2, Kuwait: Dar-Al-Qalam Lin-      Nasyri Wa At-Tauzi’, 1990 M-1410 H
Malik , Imam bin Anas Al-Ashbahi, Al-Mudawwanah Al-Kubra, jild. 3, Qahirah: Daar Al-      Hadits, 1426 H- 2005 M
Muhmmad , Syamsuddin bin Al-Khatib As-Syarbini, MughniAl-Muhtaj ‘ilaa Ma’rifati Ma’ani           Alfadz Al-Minhaj, juz 3, cet 1, Beirut: Daarul Ma’rifah, 1997 M
 Munawwir, AW, Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif,
            1984 M
Muslim, Shahih Muslim, cet. 7, Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M/ 1436 H 
Sabiq, Sayyid, Fiqhu As-Sunnah, jild. 2, Qahirah: Daar Al-Falah
Syafi’i , Imam, Kifayatul Akhyar,  jild. 2  Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012 M/1433 H





[1]   AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm. 1449
[2]  Dr. Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam Al-Wasith, (ttp.: t.p.,t.t.) hlm. 982
[3]  Syamsuddin Muhmmad bin Al-Khatib As-Syarbini, MughniAl-Muhtaj ‘ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al-Minhaj, juz 3, cet 1, (Beirut: Daarul Ma’rifah, 1997 M), hlm. 558
[4]  Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991 M), hlm. 770
[5] Abdurrahman Al-jazary, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah, cet 4,( Lebanon: Al-Kotob Al-‘Ilmiyah, 2011 M), jild. 4, hlm. 485
[6]  Sayyid Sabiq, FiqhuAs-Sunnah, jild. 2, (Qahirah: Daar Al-Falah), hlm. 109
[7] AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm.
[8] Dr. Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam Al-Wasith, (ttp.: t.p., t.t.), hlm. 616
[9] Sayyid Sabiq, FiqhuAs-Sunnah, jild. 2 . . . . . hlm. 209
[10] Abdurrahman Al-jazary, Al-Fiqhi ‘Ala Madzahibu Al-‘Arba’ah. . . . . . hlm: 451-455

[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, ( Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005) hlm. 559
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan . . . . . . . hlm. 36
[13] Muslim, Shahih Muslim, cet. 7, (Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M/ 1436 H),  Bab. Haji/1218, hlm. 456
[14] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani Dar Al-Fikr, 2011 M), jild. 10, hlm. 132
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan . . . .hlm.  559
[16] Abdul Wahhab Khilafun, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, cet. 2, (Kuwait: Dar-Al-Qalam Lin-Nasyri Wa At-Tauzi’, 1990 M-1410 H), hlm. 173
                [17] Ibnu Mas’ud Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’, ( Beirut: Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah ), jild. 5, hlm. 121
                [18] Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah Fii Asy-Syar’i Al-Islamiyah Alaa Waqfi Madzhab Abi Hanifah, (Kuwait: Daar Al-Qalam Linnasyri wat-Tauzii’, 1410 H-1990 M), hlm.175
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan . . . . hlm. 559
[20] Imam Syafi’i, Kifayatul Akhyar,  jild. 2 (Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012 M/1433 H) hlm. 565-566
                [21] Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi, Al-Mudawwanah Al-Kubra, (Qahirah: Daar Al-Hadits , 1426 H- 2005 M), jild. 3, hlm. 60
                [22] Ibid, hlm. 62
                [23] Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an, (Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiah,  1993 M) Jild. 9, hlm. 110
                Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiah),  Jild. 6, hlm. 443
                [24]  Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Lebanon: Daar Al-Kotob Al- Ilmiyah, 2008 M) jild. 6, hlm. 463
                [25] Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah Fii Asy-Syar’i Al-Islamiyah Alaa Waqfi Madzhab Abi Hanifah, (Kuwait: Daar Al-Qalam Linnasyri wat-Tauzii’, 1410 H-1990 M), hlm.174
                [26] Ibid