HUKUM SEWA RAHIM
Oleh: Hilfa Miftahul Fariha
BAB I
Oleh: Hilfa Miftahul Fariha
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Allah Subhanahu Wata’ala telah
menciptakan laki-laki dan perempuan, yang tujuannya adalah agar mereka saling
berpasang-pasangan dan membangun rumah tangga yang tentram dan damai. Sehingga
diadakanlah sebuah ikatan yang kokoh, yang dinamakan dengan ikatan pernikahan
agar mereka menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Salah satu tujuan adanya ikatan penikahan
adalah untuk memperoleh keturunan yang sah. Sehingga tidak tercampur antara satu keluarga dengan keluarga yang
yang lain atau dengan anak yang tidak dikenal ayah dan ibunya. Begitu juga
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA. Menyebutkan
bahwa salah satu amalan yang tidak akan pernah terputus pahalanya hingga ia
telah meninggal dunia adalah do’a anak yang shalih.[1]
Meskipun begitu tidak semua suami istri bisa
mendapatkan keturunan yang disebabkan dari banyak faktor. Baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri. Sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan keturunan sebagimana yang mereka inginkan, baik dengan cara pengobatan
atau dengan cara memanfaatkan tekhnologi sains modern.
Tekhnologi
sains modern berhasil menciptakan inseminasi buatan pada manusia. Inseminasi buatan adalah
penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara
alami, tetapi dengan cara memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita
tersebut dengan pertolongan dokter, atau disebut juga dengan penghamilan buatan
atau pemanian buatan.[2]
Inseminasi buatan kini telah berubah menjadi
penyewaan rahim, dengan mengadakan pembuahan dengan mempertemukan antara sel
telur (ovum) dengan spermatozoa
antara suami istri dalam sebuah gelas kemudian di inplementasikan
kedalam rahim wanita yang disewa rahimnya sesuai dengan perjanjian, yang
mengakibatkan adanya hubungan kasih sayang antara wanita yang mengandung dengan
anak yang dikandungnya. [3]
Baik dengan aqad bisnis, dengan perjanjian ataupun dengan sama-sama
rela.
Oleh karena itu, dizaman yang semakin canggih
ini, banyak sekali hal-hal baru yang sebelumnya tidak ada. Sebagaimana adanya
penyewaan rahim yang belakangan ini sedang marak dikalangan masyarakat
khususnya bagi mereka yang belum bisa memiliki keturunan. Sehingga ada baiknya
kita membahas lebih dalam mengenai penyewaan rahim tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja bentuk-bentuk sewa rahim?
2. Apa saja penyebab dan tujuan sewa rahim?
3. Apa hukum sewa rahim?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk sewa rahim
2. Untuk mengetahui penyebab dan tujuan sewa rahim
3. Untuk mengetahui hukum sewa rahim
D.
MANFAAT
Adapun
manfaat untuk pribadi adalah sebagai tambahan wawasan, bagi Hidayaturrahman
sebagai sumbangan pemikiran dan bagi masyarakat sebagai pengetahuan dalam
masalah penyewaan rahim.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sewa rahim
Sewa rahim adalah penanaman ovum seorang
wanita yang subur beserta sperma suaminya yang sah kedalam rahim wanita lain
dengan imbalan sejumlah uang atau tanpa balasan karena berbagai alasan. Diantara
penyebab terjadinya hal tersebut adalah rahim pemilik ovum tidak baik untuk
hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur atau salah
satunya yang subur, atau karena pemilik ovum ingi menjaga kesehatan dan
kecantikannya dan sebagainya.[4]
Menurut
W.J.S. Purwadarminto kata sewa berarti pemakaian (peminjaman sesuatu dengan
membayar uang), sedangkan kata rahim yaitu kandungan. Jadi pengertian dari sewa
rahim menurut bahasa adalah pemakaian atau peminjaman kandungan dengan membayar
uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.[5]
B.
Bentuk-bentuk sewa rahim
a. Benih istri (ovum) disewakan dengan benih suami (sperma), kemudian
dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Kaidah ini dilakukan dalam keadaan istri
memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan
akibat penyakit yang kronis atau sebab-sebab yang lain.
b. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disewakan
dibekukan dan dimasukkan kedalam rahim ibu tumpangan selepas kematian pasangan
suami istri itu.
c. Ovum istri disewakan dengan sperma laki-laki lain (bukan suaminya) dan
dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan
istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih istri dalam
keadaan baik.
d. Sperma suami disewakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan kedalam
rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila istri ditimpa penyakit pada ovary
dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau istri telah sampai pada
tahap menopause.
e. Sperma suami dan ovum istri disenyawakan kemudian dimasukkan kedalam
rahim istri yang lain dari wanita yang sama. Dalam keadaan ini istri yang lain
sanggup mengandung anak suaminya dari istri yang tidak boleh hamil.[6]
C.
Sebab atau Tujuan sewa rahim
Adapun sewa rahim biasanya dilatarbelakangi
oleh beberapa sebab, diantaranya adalah:
a. Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung
secara normal karena memilii penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya
dari mengandung dan melahirkan anak.
b. Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan
rahim.
c. Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban
kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan
tubuhnya.
d. Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus atau
menopause.
e. Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari
nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.[7]
D.
Hukum sewa rahim
Dalam hal ini, terdapat perselisihan pendapat diantara
para ulama, ada ulama yang membolehkan dan ada juga ulama yang mengharamkan hal tersebut.Sebab, para ulama
terdahulu belum membahas hal tersebut. Adapun para ulama yang mengharamkan sewa
rahim diantaranya adalah:
1. Syaikh Mahmud Syaltut
Adapun jika inseminasi itu berasal dari sperma
laki-laki lain yang tidak terikat akad perkawinan dengan wanita tersebut.
Mungkin, sewa rahim seperti ini yang banyak dibicarakan dikalangan masyarakat.
Maka tentu saja tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut dapat mendorong manusia
kedalam kehidupan hewan yang biadab dan tidak berakal. Jika inseminasi buatan
tersebut bukan berasal dari sperma suami maka sudah jelas bahwa hal tersebut
merupakan perbuatan yang buruk dan sebuah kejahatan yang lebih mungkar dari
memungut anak.[8]
2. Dr. Yusuf Qardawi
Beliau berpendapat bahwa sewa rahim tidak
diperbolehkan. Karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan ketidak
jelasan. Siapakah ibu dari anak tersebut, sang pemilik sel telur atau wanita
yang mengandung dan melahirkannya. Padahal wanita tersebut hamil bukan karena
keinginannya sendiri.[9]
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
keharaman sewa rahim tersebut ditinjau dari beberapa segi. Dari segi etika,
dapat mengantarkan manusia pada taraf kehidupan seperti hewan. Dari segi sosial,
memasukkan sel telur kedalam rahim wanita lain adalah haram hukumnya sebab
dapat menimbulkan hilangnya rasa keibuan dan merusak tatanan kehidupan.
3. Syaikh Ali At-Tantawi
Menurut Syaikh Ali At-Tantawi inseminasi
buatan dengan menggunakan rahim dari wanita lain adalah tidak dibenarkan dalam
islam. Beliau tidak membenarkan hal ini disebabkan karena rahim wanita yang
mengandung memiliki andil dalam pembentukan dan penumbuhan janin, karena ia
mengkonsumsi makanan dari darah ibu Yang mengandungnya.
4. Propesor Abdullah Al-Jibrin Rahimahullah
Kita katakan ini adalah sebuah kemungkaran,
karena tidak ada para ulama sebelumnya yang membahas tentang hal ini dan tidak
disebutkan oleh para ulama dan imam-imam orang islam bahwa hal ini boleh. Jadi,
tidak diragukan lagi bahwa hal ini hukumnya adalah haram.
Para ulama yang menyatakan bahwa hukum sewa
rahim hukumnya adalah haram, mereka mengambil pendapat ini dengan dalil:
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam
surat Al-Mu’minun: 5-6
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ
حَافِظُوْنَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُوْمِيْن
“ Dan orang-orang yang tidak menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Begitu juga dalam surat An-Nahl: 72
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً
وَّرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيُّبَاتِ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ
اللهِ هُمْيَكْفُرُوْنَ
“ Dan Allah Subhanahu Wata’ala menjadikan bagimu
pasangan (suami atau istri) dari jenismu sendiri dan menjadikan anak dan cucu
bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah Subhanahu Wata’ala?”
Mereka juga berpendapat bahwa
dalam sewa rahim ini memiliki banyak kemadharatan dan kerusakan didalamnya,
diantaranya yaitu:
a.
terjadinya percampuran
nasab.
b.
tidak adanya hubungan
syar’i antara wanita pemilik rahim dan laki-laki pemilik sperma.
c.
terdapat perselisihan
antara dua wanita dalam hal siapakah ibu anak tersebut, pemilik rahim atau
pemilik sel telur.[10]
Adapun para ulama yang
membolehkan sewa rahim diantaranya adalah Prof. Dr. Jurnalis Udin, H. Ali Akbar
dan H. Salim Dimyati. Mereka membolehkan sewa rahim dengan beberapa hal yang
harus dipenuhi, diantaranya adalah:
a.
Benih berasal dari
suami istri yang sah.
b.
Rahim sang istri
mengalami kerusakan atau gangguan sehingga tidak dapat mengandung embrio hingga
lahir.
c.
Sewa rahim merupakan jalan terakhir atau jalan
satu-satunya.
d.
Keinginan untuk
memperoleh anak sangat besar.[11]
Mereka membolehkan sewa rahim dengan dalil:
1)
Mereka mengkiaskan
sewa rahim dengan ibu susuan, menyusukan anak kepada wanita lain diperbolehkan
dalam islam dan boleh diupahkan. Maka boleh juga memberikan upah kepada wanita
yang meminjamkan rahimnya.
2)
Dalam keadaan darurat,
para ulama memberikan syarat bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan
darurat.
a.
Kondisi bahaya besar
itu benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini kuat akan terjadi.
b.
Tidak bisa dihilangkan
dengan cara yang halal.
c.
Ukuran melanggar hanya
saat kondisi terpaksa itu saja, dan hanya dilakukan sekedarnya saja.[12]
d.
Waktu melanggar tidak
boleh melebihi waktu dari waktu darurat tersebut.
e.
Melanggar dalam
kondisi darurat tersebut diyakini tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih
besar.
Bagi suami istri yang sangat merindukan
kehadiran seorang anak, namun ia tidak bisa memperolehnya dengan cara alami
(pembuahan didalam rahim). Maka dengan cara sewa rahim ini suami istri tersebut
dapat segera mendapatkan anak yang telah lama dirindukannya. Disinilah letak
kemaslahatannya sehingga hal ini didasarkan atas sebuah kaidah ushul yaitu maslahat
al-mursalah. Sebab hal ini telah memenuhi syarat diperbolehkannya
mengamalkan maslahat al-mursalah yaitu:
1. Sesuai dengan maksud sebuah syariat.
2. Merupakan hal yang masuk akal atau logis.
3. kemaslahatannya berguna bagi manusia pada umumnya dan bukan untuk sebuah
kemaslahatan pribadi.[13]
Dalam hal ini berlaku juga kaidah الحاجة تنزيل منزلة الضرورة عامة
كانت أو خاصة " "
kebutuhan itu menduduki posisi darurat baik secara umum maupun khusus. Sewa
rahim itu hukum asalnya adalah haram namun dibolehkan karena adanya kebutuhan
manusia untuk memperoleh anak, bagi orang yang tidak bisa memperoleh anak
dengan cara alami (pembuahan didalam rahim). Namun, tetap harus memperhatikan
dan memenuhi syarat-syaratnya.[14]
BAB 3
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Seperti telah dipaparkan diatas, terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal sewa rahim. Ada ulama yang
membolehkan dan ada ulama yang mengharamkan, pendapat-pendapat mereka, tentunya
didasari dengan dalil dan ilmu yang mereka miliki. Perbedaan ini disebabkan
karena hal ini tidak ada nash yang membahas hal ini secara jelas dan para ulama
terdahulupun tidak membahas mengenai hal yang baru ini sehingga membutuhkan ijtihad
dari para ulama.
Berikut ini penulis deskrifsikan bentuk-bentuk
sewa rahim berserta hukumnya dalam sebuah tabel:
No
|
Asal
Sperma
|
Asal
ovum
|
Tempat penitipan
|
Hukum
|
1.
|
Suami
|
Istri
|
Rahim istri
|
Halal
|
2.
|
Suami
|
Istri
|
Rahim orang
lain
|
Halal/ Haram
|
3.
|
Suami
|
donor
|
Rahim istri
|
Haram
|
4.
|
Donor
|
Istri
|
Rahim istri
|
Haram
|
5.
|
Suami
|
donor
|
Rahim orang
lain
|
Haram
|
6.
|
Donor
|
Istri
|
Rahim orang
lain
|
Haram
|
7.
|
Donor
|
donor
|
Rahim orang
lain
|
Haram
|
Dalam sewa rahim ini, yang menjadi
perselisihan diantara para ulama adalah jenis kedua. Jenis ini adalah sperma
dan ovum berasal dari suami istri yang istri yang sah dan dititipkan di rahim
wanita lain. Namun, dalam hal ini penulis memilih pendapat yang membolehkan
sewa rahim dengan disertai beberapa syarat yang harus dipenuhi, jika salah satu
syaratnya tidak terpenuhi, maka hal ini menjadi haram. Adapun syarat tersebut
diantaranya adalah:
a.
Benih berasal dari
suami istri yang sah.
b.
Rahim sang istri
mengalami kerusakan atau gangguan sehingga tidak dapat mengandung embrio
hingga lahir.
c.
Sewa rahim merupakan jalan terakhir atau jalan
satu-satunya.
d. Keinginan untuk memperoleh anak sangat besar.
Bagi suami istri yang sangat merindukan
kehadiran seorang anak, namun ia tidak bisa memperolehnya dengan cara alami
(pembuahan didalam rahim). Maka dengan cara sewa rahim ini suami istri tersebut
dapat segara mendapatkan anak yang telah lama dirindukannya. Disinilah letak
kemaslahatannya, sehingga hal ini didasarkan atas sebuah kaidah ushul yaitu maslahat
al-mursalah. Sebab hal ini telah memenuhi syarat diperbolehkannya
mengamalkan maslahat al-mursalah yaitu:
1. Sesuai dengan maksud sebuah syariat.
2. Merupakan hal yang masuk akal atau logis.
3. Kemaslahatannya berguna bagi manusia pada umumnya dan bukan untuk sebuah
kemaslahatan pribadi.
Dalam hal ini berlaku juga kaidah الحاجة تنزيل منزلة الضرورة عامة
كانت أو خاصة " " kebutuhan itu
menduduki posisi darurat baik secara umum maupun khusus. Sewa rahim itu hukum
asalnya adalah haram, namun dibolehkan karena adanya kebutuhan manusia untuk
memperoleh anak bagi orang yang tidak bisa memperoleh anak dengan cara alami
(pembuahan didalam rahim). namun, tetap harus memperhatikan dan memenuhi
syarat-syaratnya.
B. SARAN
Sewa rahim merupakan sebuah permasalahan yang
baru terjadi dikalangan kita. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar kita
berhati-hati dalam permasalahan ini, jika ada jalan yang lain atau alternatif
lain untuk memperoleh anak lebih baik tidak melakukan hal semacam ini. Sebab
hukum asal dari sewa rahim adalah haram, namun dibolehkan karena adanya
kebutuhan manusia, bagi yang tidak bisa melakukan pembuahan didalam rahim dan
memenuhi syarat-syarat yang telah kita bahas di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Burnu, Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, Al-Wajiz
fi Idhahi Qawaidul Fiqhi Al-Kuliyyah, Riyadh: Muasasah Ar-Risalah, 1430 H
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah, Al-Wajiz Fi Ushulil
Fiqhi, Damaskus: Darul Fikr, 1999 M
Qardawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, cet,
ke-1, jilid. III Jakarta: Gema Insani Press, 2002 M
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Ushul Fiqih,
jilid. 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grouf
Sarwat, Ahmad, Fiqih Kontemporer, cet,
ke-1,2,3,4, Du Center
Zaidan, Dr. Abdul Karim, Al-Wajiz 100
Kaidah Fiqih Dalam Kehidupan Sehari-Hari, penerjemah. Muhyiddin Mas Ridha,
Lc, cet. ke-1, Jakarta: Al-Kautsar, 2008 M
isjd.pdii.go.id./admin/jurnal/611083344_1693.pdf, diakses pada 23 Agustus 2016,
pukul 14.35 WIB
http://kerandamimpi.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 Agustus 2016, pukul 08.21
PM
http://munfarida.blogspot.co.id/ diakses tanggal
23 Agustus 2016, pukul 08.36 PM
http://yasinamka.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 Agustus 2016, pukul 09.43
PM
http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/ diakses tanggal 24 Agustus 2016, pukul 04.44
PM
http://ar.islamway.net/fatwa/40263/- تأجير-الأرحامdiakses tanggal 15
Oktober 2016, pukul 11.08 PM
http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/2016/02/hukum-sewa-rahim-dalam-agama-islam.html diakses tanggal 15 Agsustus 2016, pukul 10.08 PM
[1] Zain H. Al- Hamid, “Rumah Tangga Muslim”, (Semarang: Mujadin, 1981 M),
Hal. 33
[2] M. Ali Hasan, “Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam”,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ketiga 1998), Hal,
70
[3]
isjd.pdii.go.id./admin/jurnal/611083344_1693.pdf, diakses pada 7 November 2012,
pukul 14.35 WIB.
[4]
http://kerandamimpi.blogspot.co.id/ diakses
tanggal 23 agustus 2016, pukul 08.21 PM
[5] http://munfarida.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 agustus 2016, pukul
08.36 PM
[6] http://yasinamka.blogspot.co.id/ diakses tanggal 23 agustus 2016, pukul 09.43 PM
[7] http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/ diakses tanggal 24 agustus 2016, pukul 04.44 PM
[8] Abd. Salam Arief, “Pembaruan Hukum Islam, Antara Fakta dan Realita,
Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut,” (Yogyakarta, LESFI:
2003 M), Hal. 165
[9] Yusuf Qardawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, Cet, ke-1,
Jilid. III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002 M), Hal. 659-660
[10] http://ar.islamway.net/fatwa/40263/- تأجير-الأرحامdiakses tanggal 15
oktober 2016 jam 11.08
PM
[11] http://dakwahkesehataniu.blogspot.co.id/2016/02/hukum-sewa-rahim-dalam-agama-islam.html diakses tanggal 15 agustus 2016, pukul. 10.08 PM
[12] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad Al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idhahi Qawaidul
Fiqhi Al-Kuliyyah”, (Riyadh, Muasasah Ar-Risalah: 1430 H), Hal. 147
[13] Dr. Wahbah Zuhaili, “Al-Wajiz Fi Ushulil Fiqhi”, (Darul fikr, Damaskus:
1999 M), Hal. 96
[14] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad Al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idhahi Qawaidul
Fiqhi Al-Kuliyyah”, (Riyadh, Muasasah Ar-Risalah: 1430 H), Hal. 151